Trends in LIMS

Bahasa Badui
BPS: 0094 3
Basa Baduy
Basa Sunda Kanékés
Bahasa Sunda Kanekes
Bahasa Kanekes
Sempalan cerita Oa Jeung Aul, salah satu dongeng berbahasa Badui.
Sempalan cerita Oa Jeung Aul, salah satu dongeng berbahasa Badui.[1]
Pengucapanba.sa ba.dʊj
Dituturkan diIndonesia
Wilayah Banten
EtnisBadui
Penutur
11.620 (2015)[2]
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Bentuk awal
Aslinya merupakan bahasa lisan.[3] Tidak ada sistem tulisan yang resmi digunakan untuk bahasa Badui, tetapi untuk keperluan analisis linguistik, alfabet bahasa Sunda digunakan.
Kode bahasa
ISO 639-3bac
LINGUIST List
LINGUIST list sudah tidak beroperasi lagi
bac
Glottologbadu1237
Linguasfer31-MFN-b
IETFbac
BPS (2010)0094 3
Informasi penggunaan templat
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Not Endangered

Bahasa Badui diklasifikasikan sebagai bahasa aman ataupun tidak terancam (NE) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

C10
Kategori 10
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa telah punah (Extinct)
C9
Kategori 9
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sudah ditinggalkan dan hanya segelintir yang menuturkannya (Dormant)
C8b
Kategori 8b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa hampir punah (Nearly extinct)
C8a
Kategori 8a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sangat sedikit dituturkan dan terancam berat untuk punah (Moribund)
C7
Kategori 7
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai mengalami penurunan ataupun penutur mulai berpindah menggunakan bahasa lain (Shifting)
C6b
Kategori 6b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai terancam (Threatened)
C6a
Kategori 6a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa masih cukup banyak dituturkan (Vigorous)
C5
Kategori 5
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami pertumbuhan populasi penutur (Developing)
C4
Kategori 4
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam institusi pendidikan (Educational)
C3
Kategori 3
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan cukup luas (Wider Communication)
C2
Kategori 2
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah (Provincial)
C1
Kategori 1
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara (National)
C0
Kategori 0
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bahasa pengantar internasional ataupun bahasa yang digunakan pada kancah antar bangsa (International)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
EGIDS SIL EthnologueC6a Vigorous
Bahasa Badui dikategorikan sebagai C6a Vigorous menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini masih dituturkan dan digunakan oleh sebagian wilayah
Referensi: [4][5][6]

Lokasi penuturan
alt=   Wilayah utama penutur bahasa Badui   Wilayah bukan utama penutur bahasa Badui
  Wilayah utama penutur bahasa Badui
  Wilayah bukan utama penutur bahasa Badui
Peta
Peta
Perkiraan persebaran penuturan bahasa ini.
Koordinat: 6°21′0″S 106°10′48″E / 6.35000°S 106.18000°E / -6.35000; 106.18000 Sunting ini di Wikidata
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Badui[7] atau bahasa Sunda dialek Badui[8][9] adalah nama yang diberikan bagi sebuah bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang umumnya dituturkan oleh suku Badui di sebagian wilayah Banten, Indonesia. Penuturnya tersebar di wilayah sekitar Gunung Kendeng, Kabupaten Lebak. Bahasa Badui memiliki sekitar 11.620 penutur jati pada tahun 2015.[2]

Sama seperti bahasa Sunda baku, bahasa Badui berdasarkan tipologi linguistiknya adalah bahasa yang urutan unsur struktur kalimatnya berjenis subjek-predikat-objek. Sebagai bahasa aglutinatif, bahasa Badui memiliki beragam afiks yang masih produktif. Verba dapat dibedakan menjadi bentuk transitif dan intransitif, serta bentuk aktif dan pasif.

Klasifikasi

Posisi bahasa Badui dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa berdasarkan pengklasifikasian pada situs web klasifikasi bahasa Glottolog 4.1 yang dirilis tahun 2019

Dari segi linguistik, bahasa Badui masih termasuk ke dalam bahasa Sunda,[10] sehingga terkadang dianggap sebagai sebuah dialek atau dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Sunda-Badui,[11] yang posisinya masih diperdebatkan antara Melayu-Sumbawa dan Kalimantan Utara Raya yang keduanya berada pada cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.[b][Verifikasi gagal]

Beberapa sumber rujukan menggolongkan bahasa Badui sebagai bagian dari bahasa Sunda dialek Banten.[13] Akan tetapi, tidak seperti beberapa dialek Sunda lainnya di wilayah Banten yang sudah banyak tercampur dengan unsur bahasa non-Sunda, bahasa Badui hanya mendapatkan sedikit pengaruh dari bahasa lainnya dan masih mempertahankan beberapa unsur-unsur kebahasaan dari bahasa Sunda kuno sebagai pendahulunya,[14] hal ini kontras bila dibandingkan dengan beberapa dialek Sunda lainnya yang dianggap lebih modern.[15]

Status saat ini

Bahasa Badui termasuk salah satu bahasa daerah di Indonesia dan cukup dilestarikan keberadaannya oleh pemerintah setempat, meskipun penelitian linguistik mengenai bahasa ini masih tergolong sedikit. Penggunaan bahasa Badui dianggap sebagai penanda identitas kesukuan yang paling penting bagi masyarakat Badui. Meskipun masyarakat Badui sendiri merupakan masyarakat yang terisolasi, nyatanya sebagian dari mereka mempunyai kemampuan bilingual, yang artinya mereka juga dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya, terutama ketika sedang bertutur kata dengan masyarakat lain dari luar Badui yang datang ke wilayah mereka.

Ethnologue menggolongkan bahasa Badui sebagai bahasa dengan tingkat 6a yang berkategori vigorous (kuat) dalam skala EGIDS,[c] dan perkembangannya menunjukkan sikap yang positif.[16]

Fonologi

Tidak terdapat perbedaan antara bahasa Badui dan bahasa Sunda baku beserta beberapa dialek lainnya dalam hal fonologi.[17] Fonem dalam kedua bahasa tersebut menunjukkan jumlah yang sama, yakni sebanyak 25 fonem dengan 7 di antaranya berupa fonem vokal, sedangkan 18 fonem lainnya merupakan konsonan. Akan tetapi, untuk fonem-fonem /ə/, /o/, /ɨ/, dan /i/ dalam bahasa Badui ada variasi pemakaian, seperti pada kata tolu, teulu dan tilu 'tiga', euweuh dan oweuh 'tidak ada', serta enya dan onya 'iya'.[17]

Vokal

Fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Badui yaitu /ɛ/ é, /a/, /ɨ/ eu, /ə/ e, /i/, /ɔ/ o dan /u/.

Vokal
Depan Madya Belakang
Tertutup i ɨ u
Tengah ɛ ə ɔ
Terbuka a

Konsonan

18 fonem konsonan dalam bahasa Badui dapat dijabarkan dalam tabel berikut.

Konsonan
Dwi-bibir Gigi Langit-langit
keras
Langit-langit
lunak
Celah suara
Sengau m n ɲ ŋ
Letup/Gesek p b t d k ɡ ʔ
Desis/Geser s h
Kepak/Hampiran r l
Semivokal w j

Intonasi

Dalam hal aksen atau tekanan kata dan intonasi, bahasa Badui menunjukkan ciri khas yang sangat menonjol. Kata-kata dengan dua suku kata pada umumnya mendapatkan stress naik pada suku kata pertama, kemudian menurun pada suku kata kedua, seperti héjo menjadi héj'jo (hijau), dukun menjadi duk'kun (dukun), iheung menjadi ih'heung (tidak tahu) dan lain-lain.[18]

Intonasi dalam kalimat memang merupakan ciri tersendiri yang terdapat dalam bahasa Badui. Adakalanya dalam kalimat berakhir dengan nada turunnya suara, atau dengan nada datar. Demikian pula, kalimat interogatif tidak selalu diakhiri dengan naiknya suara, tetapi adakalanya berakhir dengan turunnya suara.[19]

Karakteristik

Masyarakat Badui (terutama Badui Dalam) pada umumnya merupakan masyarakat yang terisolasi dari dunia luar sehingga bahasa yang mereka gunakan tidak banyak terpengaruh oleh bahasa yang ada di luar wilayah mereka seperti bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda dialek lainnya. Pada umumnya, pengaruh bahasa dari luar seperti ini hanya terdapat pada masyarakat Badui Panamping atau Badui Luar.[8]

Leksikon

Kekhasan

Dalam tataran leksikon, misalnya kosakata, terdapat beberapa kosakata khas bahasa Badui yang tidak ditemukan atau tidak lazim digunakan dalam beberapa dialek bahasa Sunda lainnya, terutama bahasa Sunda Priangan (baku). Perbandingan beberapa perbedaan leksikon Badui dengan bahasa Sunda baku dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Leksikon khas lainnya dapat dilihat di sini.

Bahasa Badui Pengucapan (dalam IPA) Bahasa Sunda baku Pengucapan (dalam IPA) Pengertian Ref.
ambu kolot [ambu kolɔt] nini [nini] nenek [20][21]
acéng [at͡ʃɛŋ] ujang [ud͡ʒaŋ] sapaan kepada anak laki-laki [22]
babarahmu [babarahmu] susuguh [susugʊh] hidangan, jamuan [23]
bangu [baŋu] awi [awi] bambu
conggah [t͡ʃɔŋgah] sanggup [saŋgʊp] sanggup [23]
gungguman [gʊŋguman] lingkungan [lɪŋkuŋan] lingkungan, wilayah [24]
hawon, dihawon [hawɔn], [dihawɔn] lawan, dilawan [lawan], [dilawan] lawan, dilawan [23]
heulan [hɤlan] heula [hɤla] terlebih dahulu, di depan
iget, kaiget [igət], [kaigət] teureuy, kateureuy [tɤrɤj], [katɤrɤj] telan, tertelan [25]
ja [d͡ʒa] da [da] fatis untuk menyatakan sebab
kolényér [kolɛɲer] konéng [konɛŋ] warna kuning [26]
lojor [lod͡ʒɔr] panjang [pand͡ʒaŋ] panjang [27]
megat elos [məgat əlɔs] ngahalangan jalan [ŋahalaŋan d͡ʒalan] menghalangi jalan [24]
ngawadang [ŋawadaŋ] dahar beurang [dahar bɤraŋ] makan siang [28]
oweuh [owɤh] euweuh [ɤwɤh] tiada [17]
paul [pawʊl] biru [biru] biru [26]
rayoh [rajɔh] kawali [kawali] kuali [29]
tundun [tʊndʊn] rambutan [rambʊtan] Nephelium lappaceum [30]
ucut [ucʊt] ragrag [ragrag] jatuh [31]

Perubahan leksikal

Perubahan leksikal yang ditemukan antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku dapat dianalisis dan dikelompokkan menjadi beberapa jenis proses, beberapa di antaranya berupa kosakata yang dapat ditemukan di antara kedua bahasa seperti contohnya beurat [bɤrat] 'berat' dengan variasinya yang berlainan seperti abot [abot] dalam bahasa Sunda baku dan badot [badot] 'berat' dalam bahasa Badui.[32] Jenis perubahan leksikal yang kedua berupa kosakata yang dapat ditemukan di antara kedua bahasa tetapi variasinya hanya ditemukan dalam bahasa Badui, seperti contohnya beulah [bɤlah] 'belah' dan bareuh [barɤh] 'bengkak' dengan variasi khas bahasa Badui bencar [bəncar] 'belah' dan kembung [kəmbʊŋ] 'bengkak' yang tidak ditemukan dalam bahasa Sunda baku.[32] Jenis perubahan leksikal selanjutnya dapat berupa kosakata yang tidak saling berhubungan di antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku, seperti contohnya nyaring [ɲarɪŋ] 'berbaring' dalam bahasa Badui dengan ngagolér [ŋagolεr] 'berbaring' dalam bahasa Sunda baku.[33] Tipe perubahan leksikal yang lainnya berupa kosakata yang pelafalannya berbeda antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku dengan variasi yang hanya ditemukan dalam bahasa Badui, seperti contohnya enteu [əntɤ] 'tidak' dalam bahasa Badui dengan henteu [həntɤ] 'tidak' dalam bahasa Sunda baku dengan variasi khas Badui moan [mowan] 'tidak'.[34]

Laras bahasa

Bahasa Badui sering dianggap sebagai bahasa yang egaliter karena tidak mengenal tatakrama basa Sunda (sistem tingkatan berbahasa yang didasarkan kepada status sosial antara pembicara dengan lawan bicara),[35] serta menunjukkan ciri-ciri sebagai bahasa yang demokratis,[8] hal ini tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan beberapa dialek bahasa Sunda lainnya yang memiliki sistem yang cukup kompleks tersebut. Namun, pada kenyataannya, masyarakat Badui yang dikenal memiliki kelas sosial dalam sistem pemerintahannya, implikasinya terhadap bahasa merupakan suatu hal yang tak dapat terelakkan, selain itu, karena faktor kedekatan wilayah dan seringnya interaksi antara suku Badui dengan masyarakat Sunda umum dan masyarakat lainnya, mengakibatkan dalam hal linguistik terjadi interferensi bahasa yang merasuk ke dalam tubuh bahasa Badui, yang pada akhirnya memunculkan gejala penjenjangan bahasa.[36] Sebuah penelitian mengungkapkan, interferensi bahasa dalam hal leksikon muncul dari bahasa Indonesia dan konsep tingkatan berbahasa muncul dari bahasa Sunda baku. Interferensi ini tidak dipahami sebagai kesalahan berbahasa, melainkan bagaimana cara sebuah diksi diperlakukan.[37] Contoh interferensi bahasa dapat ditemui pada masyarakat Badui Dalam yang tidak menggunakan kata cangkéng untuk menyatakan pinggang melainkan menggunakan pinggang (sama seperti bahasa Indonesia) sebagai kata yang sopan untuk orang tua atau orang yang lebih tua atau dihormati. Contoh lainnya, kata pundak 'bahu' sudah sangat akrab di kalangan orang Badui daripada taktak yang digunakan masyarakat Sunda umum.[36]

Dalam perkembangannya, beberapa kosakata yang memiliki variasi, penggunaannya dibedakan berdasarkan kepada siapa kosakata tersebut diucapkan. Contohnya kata nginum 'minum' tidak dapat digunakan terhadap seseorang yang sangat dihormati, seperti orang tua, jaro, apalagi puun. Untuk orang yang dihormati, digunakan kata papairan.[38]

Sintaksis

Dalam tingkatan sintaksis atau tata kalimat, secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara bahasa Badui dengan bahasa Sunda baku, hanya saja untuk beberapa partikel terdapat suatu kekhasan tersendiri yang dipakai dalam bahasa Badui. Partikel ari dan baé cenderung dipakai berulang-ulang oleh para penutur bahasa ini, berbeda dengan penutur bahasa Sunda lainnya yang hanya memakai partikel tersebut sekali saja.[39] Di bawah ini adalah contoh perbandingan kalimat antara bahasa Badui dan bahasa Sunda baku.

Catatan: pada contoh di bawah, partikel yang dimaksud dicetak tebal dan digarisbawahi.

Bahasa Badui

(1)
Ari urang Cicakal Girang mah ari asalna gé ari islam mah Islam.

ari

adapun

urang

orang

Cicakal

Cicakal

Girang

Girang

mah

FOC

ari

COMP

asal

PST

=na

=3

juga

ari

COMP

islam

Islam

mah

FOC

Islam

Islam

ari urang Cicakal Girang mah ari asal =na gé ari islam mah Islam

adapun orang Cicakal Girang FOC COMP PST =3 juga COMP Islam FOC Islam

'Adapun orang Cicakal Girang kalau asalnya kalau Islam tetap Islam'[39]

(2)
Atuh ari ngajual mah saayana baé, sakilo dijual baé, sapuluh kilo dijual baé.

atuh

mohon

ari

bila

ngajual

AV-jual

mah

FOC

saaya

seada

=na

=NMLZ

baé,

LIM

sakilo

sekilo

dijual

PV-jual

baé,

LIM,

sapuluh

sepuluh

kilo

kilo

dijual

PV-jual

baé

LIM

atuh ari ngajual mah saaya =na baé, sakilo dijual baé, sapuluh kilo dijual baé

mohon bila AV-jual FOC seada =NMLZ LIM sekilo PV-jual LIM, sepuluh kilo PV-jual LIM

'Mohon bila menjual seadanya saja, sekilo dijual saja, sepuluh kilo dijual saja'[39]

Bahasa Sunda baku

  1. Ari urang Cicakal Girang mah asalna gé islam.[39]
  2. Atuh ari ngajual mah saayana baé, sakilo dijual, sapuluh kilo dijual.[39]

Dalam bahasa Badui, partikel boro dari bahasa Sunda baku mengalami reduplikasi (perulangan) menjadi boro-boro. Beberapa penggunaan preposisi dina 'pada' dalam bahasa Badui terhitung setara dengan di 'di' dalam bahasa Sunda baku. Penggunaan partikel-partikel lainnya seperti cenah, deuk, éta, ieu, jeung, kitu, tah dan si, tidak sama penggunaannya dengan bahasa Sunda baku. Selain itu, ada beberapa partikel yang tidak lazim ditemukan atau dipakai dalam bahasa Sunda baku, tetapi cukup umum dalam bahasa Badui, seperti contohnya: doang, laju dan ja.[18]

Morfologi

Dalam bidang morfologi atau bentuk-bentuk kata terdapat perbedaan dan persamaan. Prefiks sa- dalam bahasa Badui tidak selalu menunjukkan bentuk terikat yang memiliki fungsi gramatikal yang mirip dengan prefiks se- dalam bahasa Indonesia. Seperti pada kalimat ngalaksa sajumaah dalam bahasa Badui yang maknanya setara dengan kalimat ngalaksa dina poé jumaah dalam bahasa Sunda baku. Perbedaan lain yang sangat tampak yaitu pada penggunaan sufiks -an dan -na, kata di tengahna 'di tengahnya' dalam bahasa Sunda baku berubah menjadi di tengahan 'di tengahnya' dalam bahasa Badui. Kata kabéh (semua) dalam bahasa Badui cukup hanya mendapatkan sufiks -an saja sehingga menjadi kabéhan (semuanya). Sementara dalam bahasa Sunda baku: kabéhanana (semuanya).[18] Selain itu, kata berimbuhan di-/-an pada kata dibéjaan 'diberitahu' dalam bahasa Sunda baku, dalam bahasa Badui berubah menjadi dibéja-béja. Untuk prefiks di- pada kata dikira dalam bahasa Badui bisa menggantikan reduplikasi kira-kira 'kira-kira' dalam bahasa Sunda baku. Dan untuk prefiks per- dalam bahasa Indonesia, berpadanan dengan prefiks para- dalam bahasa Badui, contohnya pada kata perkawinan 'pernikahan' berubah menjadi parakawinan 'pernikahan'.[17]

Tata bahasa

Struktur dan tata bahasa Badui tidak jauh berbeda dengan struktur bahasa Sunda secara umum, sehingga struktur bahasanya masih dapat dipelajari dan dipahami secara baik oleh para penutur dialek bahasa Sunda lainnya.[40]

Pronomina persona

Bahasa Badui umumnya hanya mengenal pronomina atau kata ganti persona dalam bentuk bebas, bentuk terikat yang berupa proklitik dan enklitik hanya terdapat dalam persona ketiga tunggal atau jamak yang juga berfungsi sebagai pemarkah kepunyaan (khususnya bentuk sufiks -na). Selain itu, terdapat bentuk terikat berupa enklitik untuk persona pertama tunggal -ing dari bahasa Sunda kuno yang bersifat arkais dan kini sudah tidak digunakan lagi dalam bahasa Sunda modern termasuk bahasa Badui, umumnya, unsur gramatikal yang dibubuhi bentuk enklitik seperti ini kini dianggap sebagai monomorfemik, contohnya ambuing 'ibuku', anaking 'anakku' dan awaking 'badanku'.

Beberapa bentuk pronomina persona jamak dibentuk dengan cara menyisipkan infiks -ar- ke dalam pronomina persona tunggal, misal, untuk menyatakan pronomina persona kedua jamak, diciptakan dengan menyisipkan infiks -ar- ke dalam pronomina bebas dia menjadi daria. Hal ini berlaku bagi pronomina persona yang fonem awalnya berupa konsonan, sedangkan untuk pronomina persona yang diawali dengan fonem vokal, maka infiks -ar- akan berubah menjadi sufiks ar-, seperti contohnya pada pronomina persona ketiga jamak yang dibentuk dengan cara menambahkan sufiks ar- ke dalam pronomina bebas inyana menjadi arinyana.

Glos Pronomina bebas

(PRO)

Proklitik

(ERG)

Enklitik

(ABS)

Pemarkah kepunyaan

(POSS)

1SG
'saya'
aing, ngaing -ing[d]
1SG 1PL.EXCL
'saya, kami'
kami
1PL.INCL
'kita'
urang
2SG
'Anda'
sia, dia na-
2PL
'kalian'
daria, dararia
3SG
'dia'
diana, inyana di- -na
3PL
'mereka'
darariana, arinyana

Bentuk aing 'saya' yang mengalami nasalisasi (diucapkan secara sengau pada fonem pertama) menjadi ngaing adalah bentuk pronomina persona pertama tunggal yang biasanya digunakan untuk menunjukkan superioritas sang penutur, sementara bentuk persona kedua jamak dararia 'kalian' yang merupakan variasi dari daria (akar kata: dia 'Anda') adalah bentuk penegasan dengan cara menggandakan infiks -ar- menjadi -arar-.

Contoh teks

Masyarakat Badui secara tradisional tidak mengamalkan budaya tulis, sehingga dalam pewarisan tradisi dilakukan secara oral atau lisan melalui tuturan dari generasi ke generasi, termasuk dalam hal kesusasteraan.[41] Sastra lisan Badui di kemudian hari banyak didokumentasikan oleh pihak luar.

Idiom

Papan multibahasa dalam bahasa Badui dan Indonesia (Amanat Buyut). Tulisan Badui, dalam alfabet bahasa Sunda, berada di sebelah kiri papan.

Di bawah ini disajikan sebuah contoh teks berbahasa Badui yang berisi empat ungkapan atau idiom yang menggambarkan posisi bintang kidang (Orion) dalam penyusunan kalender pertanian Badui (pananggalan).[42][43]

Tanggal kidang turun kujang

apabila bintang kidang berada di ufuk timur, masyarakat harus memulai menebang semak-semak belukar dengan kujang (perkakas seperti parang)

Kidang ngarangsang kudu ngahuru

apabila posisi bintang kidang ngarangsang (seperti posisi matahari yang meninggi), masyarakat harus membakar sisa-sisa tebangan dan persiapan berladang

Kidang nyuhun atawa condong ka barat kudu ngaseuk

apabila bintang kidang diatas kepala atau sudah miring ke barat harus tanam padi

Kidang marem turun kungkang, ulah melak paré

apabila bintang kidang tidak lagi terlihat maka pantang untuk bertanam karena banyak hama serangga

Cerita rakyat

Pada contoh di bawah ini ada sebuah cerita rakyat mengenai kisah permulaan keberadaan masyarakat Badui berjudul Mula Nagara Baduy (Ejaan asli/Van Ophuijsen: Moela Nagara Badoej) yang pernah diteliti dan kemudian ditranskripsikan oleh C.M. Pleyte, seorang kurator museum asal Belanda.[44]

Berikut sepenggal kisah Mula Nagara Baduy yang telah disesuaikan ejaannya ke dalam Ejaan Bahasa Sunda modern:[45]

Laju baé ngalayang noongan pitempateun. Ana nepi ka Banten, nya éta ka nagara Cibaduy téa, manggih leuweung suni serta batuna réa taréngtong, keusik-keusik aralus; jeung éta leuweung lega jasa. Tilok aya anu ngeusian kajaba satoa berhala leuweung kayaning maung, badak, bagong jeung réa-réa deui oray-oray anu galedé nu laleutik sapangeusining leuweung. Di dinya ratu deuk ngalereb jeung dulurna anu ngaranna Pucuk Umun. Teu kebel, ana ngalongok ka béh lebak, aya walungan gedé, caina beresih jasa. Laju diana mandi di dinya. Ana mandi ratu leungit jamangna nu rupa béo téh, gilig deui rupa manusa. Laju éta cai dingaranan Cibéo nepi ka kiwari, Sanggeusna mandi, laju pulang deui kana tempat nu réa batu jeung keusik téa. Di dinya ku ratu dingaranan Cikeusik, serta taretep Ratu jeung dulurna mabakan. Mana ngaran Cikeusik nepi ka kiwari, nya ti mangsa harita tatkala ratu mabakan. Ari éta ratu, caritana, turunan ti sawarga loka, ngaraton di Pajajaran. Kebel-kebel ratu téh baranakan pirang­-pirang nya mabakan deui dina leuweung béh hilir, dingaranan Cikertawana nepi ka ayeuna. Anu matak dingaranan kitu, sabab mimitina ramé di dinya nya éta hartina: kerta ramé; wana leuweung. Ti dinya terus tumuluy nepi ka kiwari, tapi dina hiji­-hiji tempat ngan diwidian opat puluh kuren. Demi paonamanana urang dinya, lamun aya satoa galak, maung, bagong, banténg, atawa oray, teu ilok diperegasa ku bedil, ngan dibeberik baé.

Terjemahan bebas:

Lantas melayang meninjau banyak tempat. Tatkala tiba di Banten, tiba di Negara Cibaduy, ditemukanlah hutan sunyi berbatu yang tidak rata, pasir-pasir yang lembut, dan luas sekali. Tiada yang menghuninya selain binatang liar seperti harimau, badak, babi hutan, dan masih banyak lagi ular-ular yang beraneka ragam ukurannya yang menempati keseluruhan hutan. Di sana sang ratu hendak bermalam bersama saudaranya yang bernama Pucuk Umun. Tak berselang lama, ketika ia menengok ke arah dataran rendah, terdapat sebuah bengawan, airnya jernih sekali. Kemudian ia mandi di sana. Saat sedang mandi, sang ratu kehilangan bajunya yang bercorak burung beo, tak ragu lagi rupa manusia. Lantas sungai tersebut diberi nama Cibeo hingga kini. Selepas mandi, pulanglah ia ke tempat yang berbatu dan pasir tadi. Di sana ratu memberi nama daerah tersebut Cikeusik, dan ratu menetap di sana membuatnya sebagai pemukiman baru. Demikianlah nama Cikeusik masih dipakai sampai sekarang, sejak namanya diberikan oleh ratu ketika meninggalinya. Sementara itu, ratu sendiri diceritakan merupakan turunan dari kahyangan, berkuasa di Pajajaran. Lama-lama ratu beranak banyak sehingga kolonisasinya terus berlanjut di daerah hilir, yang dinamakan Cikertawana hingga kini. Alasan dinamakan demikian, karena keramaian bermula di sana, kerta artinya ramai, wana artinya hutan. Dari sana terus berlanjut sampai sekarang, tetapi untuk setiap tempat hanya diperbolehkan untuk ditinggali empat puluh keluarga saja. Hal yang mendasarinya adalah, jikalau ada binatang buas, seperti harimau, babi hutan, banteng, atau ular, tak perlu dihalau menggunakan senjata, cukup dikejar saja.

— Cornelis M. Pleyte (1912), Badoejsche geesteskinderen

Dari penggalan teks di atas terdapat kata-kata bercetak tebal yang merupakan lema khas dialek Badui yang bentuknya berbeda dengan bahasa Sunda di daerah Parahyangan. Berikut senarainya:

Bahasa Badui Bahasa Sunda baku Arti Ref.
jasa pisan sangat [46]
tilok, teu ilok tara jarang [47]
satoa sato binatang [46]
deuk arék hendak [48]
ngalereb ngarereb bermalam [49]
kebel lila lama [50]
diana manéhna dirinya [50]
jamangna bajuna bajunya [51]

Lihat pula

Referensi

Keterangan

  1. ^ Beberapa situs web klasifikasi bahasa seperti Glottolog masih mengklasifikasikan bahasa Badui dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa yang kini dianggap telah usang, sementara Ethnologue langsung mengklasifikasikan bahasa Badui dalam bahasa Sunda pada rumpun bahasa Melayu-Polinesia tanpa ada penggolongan lagi di bawahnya. Pengelompokan bahasa Sunda termasuk di dalamnya bahasa Badui sebagai bagian dari rumpun Indonesia Barat dan Kalimantan Utara Raya dianggap lebih mutakhir daripada Melayu-Sumbawa.
  2. ^ Glottolog versi 4.1 mencatat bahasa Badui bersama dengan bahasa Sunda membentuk sebuah keluarga bahasa Sundanese-Badui.[12]
  3. ^ EGIDS merupakan singkatan dari Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale, sebuah skala yang menilai seberapa parah pemutusan rantai transmisi antargenerasi bagi sebuah bahasa. Tingkat 1 menandakan bahwa bahasa tersebut lazim digunakan dalam komunikasi antarbangsa, sementara tingkat 10 menandakan bahwa bahasa tersebut telah punah.
  4. ^ klitik -ing hanya produktif digunakan dalam bahasa Sunda Kuno

Catatan kaki

  1. ^ Pleyte, C.M., Badoejsche geesteskinderen , dalam Van Ronkel (1912), hlm. 224
  2. ^ a b Iskandar & S. Iskandar (2016), hlm. 696.
  3. ^ Astari (2009), hlm. 3.
  4. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  5. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  6. ^ "Bahasa Badui". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue. 
  7. ^ Hammarström, Forkel & Haspelmath (2019a).
  8. ^ a b c Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 50.
  9. ^ Sam et al. (1986), hlm. 33.
  10. ^ Florey, M., Language Shift and Endangerment , dalam Adelaar & Himmelmann (2005), hlm. 51
  11. ^ Yulianti & Firdaus (2021), hlm. 215.
  12. ^ Hammarström, Forkel & Haspelmath (2019b).
  13. ^ Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 2.
  14. ^ Rusady & Munawarah (2017a), hlm. 592.
  15. ^ Rusady & Munawarah (2017b), hlm. 60.
  16. ^ Hidayati et al. (2017), hlm. 580.
  17. ^ a b c d Sam et al. (1986), hlm. 35.
  18. ^ a b c Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 52.
  19. ^ Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 53.
  20. ^ Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 27.
  21. ^ Sam et al. (1986), hlm. 29.
  22. ^ Pujiati, Isnendes & Kurniawan (2017), hlm. 388.
  23. ^ a b c Sam et al. (1986), hlm. 36.
  24. ^ a b Sam et al. (1986), hlm. 37.
  25. ^ Sam et al. (1986), hlm. 38.
  26. ^ a b Rahmadania (2012), hlm. 214.
  27. ^ Rusady & Munawarah (2017a), hlm. 595.
  28. ^ Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 127.
  29. ^ Sam et al. (1986), hlm. 40.
  30. ^ Hidayati et al. (2017), hlm. 78.
  31. ^ Sam et al. (1986), hlm. 42.
  32. ^ a b Rusady & Munawarah (2017b), hlm. 61.
  33. ^ Rusady & Munawarah (2017b), hlm. 62.
  34. ^ Rusady & Munawarah (2017b), hlm. 63.
  35. ^ Priyanto, Kurniawan & Isnendes (2018), hlm. 384.
  36. ^ a b Priyanto, Kurniawan & Isnendes (2018), hlm. 382.
  37. ^ Priyanto, Kurniawan & Isnendes (2018), hlm. 385.
  38. ^ Priyanto, Kurniawan & Isnendes (2018), hlm. 383.
  39. ^ a b c d e Sucipto & Limbeng (2007), hlm. 51.
  40. ^ Yulianti & Firdaus (2021), hlm. 217.
  41. ^ Kristianto (2016), hlm. 2-3.
  42. ^ Iskandar & S. Iskandar (2016), hlm. 698.
  43. ^ Iskandar & S. Iskandar (2016), hlm. 694.
  44. ^ Van Zanten (2016), hlm. 407-408.
  45. ^ Pleyte (1912), hlm. 254-261.
  46. ^ a b Pleyte (1912), hlm. 221.
  47. ^ Pleyte (1912), hlm. 223.
  48. ^ Pleyte (1912), hlm. 224.
  49. ^ Pleyte (1912), hlm. 262.
  50. ^ a b Pleyte (1912), hlm. 222.
  51. ^ Pleyte (1912), hlm. 233.

Daftar pustaka

Naskah digital

Daftar bacaan

Bacaan lanjutan

Pranala luar