Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Intisari agensi | |
---|---|
Dibentuk | 1 Julai 1946 |
Ibu pejabat | Kebayoran Baru, Jakarta Selatan |
Moto | Rastra Sewakottama (Hamba utama Nusa dan Bangsa) |
Kakitangan | 590,000+ anggota |
Eksekutif agensi |
|
Laman sesawang | www |
Kepolisian Republik Indonesia (sering dipendekkan kepada Polri) berperanan menjalankan tugas-tugas polis di seluruh wilayah dan provinsi Indonesia iaitu memelihara keselamatan dan ketertiban masyarakat; menegakkan undang-undang; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan perkhidmatan (atau pelayanan) kepada masyarakat setempat negara ini.
Pada zaman Kerajaan Majapahit Patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.[1]
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keselamatan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang bumiputera untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropah di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropah di Semarang, merekrut 78 orang bumiputera untuk menjaga keselamatan mereka.[2]
Kuasa operasional polis ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk polis, seperti veld politie (polis lapangan) , stads politie ( polis perbandaraan), cultur politie ( polis pertanian), bestuurs politie (polis awam), dan lain-lain.
Sejalan dengan pentadbiran negara waktu itu, pada polis juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan bumiputera. Pada dasarnya bumiputera tidak diperkenankan menjabat hoofd agent (bintara), inspecteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk bumiputera selama menjadi agen diciptakan jabatan seperti menteri, pembantu (asisten) wedana, dan wedana.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia kini.[3]
Pada akhir tahun 1920-an atau permulaan tahun 1930 pendidikan dan jabatan hoofd agent, inspecteur, dan commisaris van politie dibuka untuk putra-putra pejabat Hindia Belanda dari kalangan bumiputera.
Pada masa ini Jepun membahagikan wilayah polis Indonesia menjadi beberapa pejabat:
Setiap pejabat polis di daerah meskipun diketuai oleh seorang pegawai dari warga tempatan ("kepala ") namun akan diiringi juga seorang pegawai Jepun (士道館) yang sebenarnya lebih berkuasa dari "kepala " itu sendiri.
Tidak lama setelah Empayar Jepun menyerah diri tanpa syarat kepada pihak Pihak Berikat, kerajaan tentera Jepun membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta mengisytiharkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Ogos 1945. Secara rasmi polis menjadi polis Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Ogos 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentera Jepun yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat mahupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.[4] Sebelumnya pada tanggal 19 Ogos 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).[5]
Pada awalnya polis berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah pentadbiran, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[6]
Kemudian mulai tanggal 1 Julai 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.[7] Tanggal 1 Julai inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga kini.
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak undang-undang juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensyen Geneva. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di medan perang Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi polis di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).[8]
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal pentadbiran pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negara.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Ogos 1950, pada tanggal 7 Jun 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi polis negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut dii adanya polis negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat polis mahupun administratif, organisatoris.
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Ogos 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang mengikut sistem parlimen, Kepala Kepolisian Negara tetap dijawat R.S. Soekanto yang bertanggungjawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, kerana belum ada pejabat, digunakan bekas pejabat Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Kementerian Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merancangkan pejabat sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Jabatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi bangunan ofis termegah selepas Istana Negara.
Sampai tempoh ini polis berstatus tersendiri antara orang awam dan tentera yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polis Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negara berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negara lainnya (mengacu standar PBB).
Dengan Dekret Presiden 5 Julai 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Julai di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Julai 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Ogos 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme polis. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keselamatan nasional.
Tanggal 19 Jun 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok polis No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahawa kedudukan Polri sebagai salah satu unit ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keselamatan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala kerajaan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Julai 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar kerana politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Kerana pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unit-unit ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Ogos 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini dirasmikan pada tanggal 1 Julai 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan.
Sejak bergulirnya reformasi kerajaan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya kerajaan Orde Baru yang kemudian digantikan oleh kerajaan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari campur tangan pihak lain dalam penegakan undang-undang.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar Presiden yang menginginkan pemisahan Polri dan ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI.
Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan pada 1 April 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Tribata Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Leftenan Jeneral TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Leftenan Jeneral TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada Kapolri Jenderal Pol (Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional.[9] Pemisahan ini pun dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ke-2 yang dimana Polri bertanggungjawab dalam keselamatan dan ketertiban sedangkan TNI bertanggungjawab dalam bidang pertahanan. Pada tanggal 8 Januari 2002, diundangkanlah UU no. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang tersebut selain pemisahan tersebut, Kapolri bertanggungjawab secara langsung pada Presiden berbanding sebelumnya di bawah Panglima ABRI, pengangkatan Kapolri yang harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Kemudian Polri dilarang terlibat dalam politik praktikal serta dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus tunduk dalam peradilan awam dari sebelumnya melalui peradilan tentera. Internal polis sendiri pun memulai reformasi internal dengan melakukan penyahtenteraan polis dengan menghilangkan ciri tentera daripada Polri, perubahan paradigma angkatan perang menjadi institusi sivil penegak undang-undang profesional, penerapan paradigma Hak Asasi Manusia, penarikan Fraksi ABRI (termasuk Polri) dari DPR, perubahan doktrin, pelatihan dan tanda kepangkatan Polri yang sebelumnya sama dengan TNI, dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca reformasi diatur dalam Perpres no. 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia.
Selain Kepolisian, pada masa Reformasi juga banyak dibentuk lembaga baru yang bertugas untuk penegakan undang-undang dan pembuatan kebijakan keselamatan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (2002), Badan Narkotika Nasional (2009), Badan Nasional Penanggulangan pengganasan (2010), Badan Keamanan Laut (2014). Perwira aktif Polri dapat menjabat dalam lembaga ini, baik menjadi penyidik, pejabat struktural sampai pimpinan. Lembaga-lembaga ini nantinya berkoordinasi dengan Polri sesuai tugas dan tanggungjawabnya.
Selain dari paradigma dan organisasi, pada masa ini polis pun menjalankan proses perlahan-lahan mendisiplinkan dan meningkatkan integriti anggotanya. Mengingat pada masa reformasi tidak sedikit anggota Kepolisian yang terungkap ke publik melanggar kod etika profesional bahkan terjerat jeneyah seperti rasuah, rekening gendut, dadah, dll. Selain kes undang-undang, saling serang antara anggota Polri dan TNI dilapangan dan ketegangan antara lembaga penegak undang-undang masih mewarnai perjalanan reformasi Kepolisan.
Pada 31 Mac 2021, Markas Besar Polri diserang oleh seorang penembak wanita yang merupakan serigala tunggal Daesh. Pelaku ditembak mati oleh anggota polis yang mengawal Mabes Polri.[10]
Tugas utama Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
Dalam melaksanakan tugas utama sebagaimana dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berkuasa:
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berkuasa :
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); manakala organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.
Unit pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kapolri adalah Pimpinan Polri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kapolri berpangkat Jenderal Polisi, Sejak 13 Julai 2016, Jenderal Badrodin Haiti diberhentikan dengan hormat dan digantikan oleh Jenderal Pol Tito Karnavian. Kapolri dibantu oleh seorang Wakil Kepala Polri berpangkat Komisaris Jenderal Polisi. Wakapolri kini dijabat oleh Komjen Pol Gatot Eddy Pramono.
Unit Unit Pengawas dan Pembantu Pimpinan/Pelayanan terdiri daripada:
Unit Pelaksana Tugas Utama terdiri dari:
Unit Pendukung, terdiri dari:
Setiap Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) memiliki sejumlah Direktorat dalam menangani tugas melayani dan melindungi, iaitu:
Amnesty International telah menuduh Polri melakukan penyeksaan yang "berleluasa" dan penderaan lain terhadap individu yang ditangkap.[11] Menurut pertubuhan itu, "Polis di Indonesia menembak, memukul dan juga membunuh orang tanpa rasa takut terhadap pendakwaan, meninggalkan mangsa mereka dengan sedikit harapan keadilan".[12]
Pada tahun 2014 Human Rights Watch melaporkan bahawa ujian dara fizikal secara rutin dilakukan ke atas pemohon wanita kepada pasukan polis.[13][14]
Pada musim panas 2022, siasatan ke atas penembakan Brigadier Nofriansyah Yosua Hutabarat, seorang pegawai polis Indonesia, mengatasi dakwaan penyembunyian oleh jeneral polis untuk menyembunyikan dakwaan pembunuhan terancang yang dilakukan oleh Inspektor Jeneral Ferdy Sambo, ketua hal ehwal dalam negara. Polis Negara Indonesia, dan tiga yang lain.[15]
Bahagian wilayah Kepolisian Republik Indonesia pada dasarnya didasarkan dan disesuaikan atas wilayah pentadbiran kerajaan awam. Komando pusat berada di Markas Besar Polri (Mabes) di Jakarta. Pada umumnya, struktur komando Polri dari pusat ke daerah adalah:
Wilayah undang-undang dari Kepolisian Wilayah (Polwil) adalah kawasan yang pada masa kolonial merupakan Karesidenan. Kerana wilayah seperti ini umumnya hanya ada di Pulau Jawa, maka di luar Jawa tidak dikenal adanya satuan berupa Polwil kecuali untuk wilayah perkotaan seperti ibukota provinsi seperti misalnya Polwiltabes Makassar di Sulawesi Selatan.
Mulai awal tahun 2010 seluruh Kepolisian Wilayah (Polwil) di Pulau Jawa sudah dimansuhkan.[16][17]
Di beberapa daerah terpencil, ada pula pos-pos yang merupakan perpanjangan tangan dari Kepolisian Sektor, yang dinamakan Kepolisian Sub-sektor.
Dalam negara, Kepolisian Republik Indonesia juga menghadapi banyak tentangan yang semakin rumit seperti pembarantasan dadah, dadah dan pencucian wang, pengganasan, cybercrime, perdagangan orang, kelompok-kelompok radikal dan tidak bertoleransi. Jenayah-jenayah tersebut sudah bersifat transnasional dan memiliki jaringan global.
Dalam perkembangan paling akhir dalam polis yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keselamatan dan ketertiban di dalam negara, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keselamatan dan ketertiban regional mahupun antarabangsa, sebagaimana yang ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan , termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi polis, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kemboja (Asia).
|coauthors=
dan |month=
(bantuan)
|coauthors=
dan |month=
(bantuan)
|coauthors=
dan |month=
(bantuan)
|accessdate=
(bantuan)
|accessdated=
ignored (bantuan)
|month=
dan |coauthors=
(bantuan)|coauthors=
ignored (|author=
suggested) (bantuan); Cite has empty unknown parameter: |month=
(bantuan)|coauthors=
ignored (|author=
suggested) (bantuan); Cite has empty unknown parameter: |month=
(bantuan)CS1 maint: multiple names: authors list (link)|coauthors=
dan |month=
(bantuan)