Knowledge Base Wiki

Search for LIMS content across all our Wiki Knowledge Bases.

Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.

Besut pranala


Santo Thomas Aquinas
St. Thomas Aquinas, by Fra Angelico, O.P.
Doktor Gereja
Lair c. 1225, Aquino, Kerajaan Sisilia
Seda 7 Maret 1274, Fossanuova Abbey, Kerajaan Sisilia
Dihormati nang Gereja Katolik Roma
Komuni Anglikan
Dikanonisasikna 1323, Avignon, Perancis oleh Paus Yohanes XXII
Tempat ziarah utama Church of the Jacobins, Toulouse, Perancis
Dina peringatan 28 Januari (baru),
7 Maret (lama)
Atribut The Summa Theologica, a model church, the Sun
Pelindung All Catholic educational institutions

Thomas Aquinas (1225-1274) kuwe salah siji filsuf lan teolog sekang Italia sing berpengaruh banget nang abad pertengahan. Karyane Thomas Aquinas sing kondang yakuwe Summa Theologiae (1273). Buku kiye kuwe sintesis sekang filsafat Aristoteles lan ajaran Gereja Kristen. Nang taun 1879, ajaran-ajarane didadekna ajaran singg sah kanggo Gereja Katolik Roma nang Paus Leo XIII. Thomas Aquinas uga disebut Thomas sekang Aquino (basa Italia: Tommaso d’Aquino).

Kehidupan Thomas Aquinas

Aquinas dilahirkan di Roccasecca dekat Napoli, Italia.[1] dalam keluarga bangsawan Aquino.[2] Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan ibunya bernama Countess Teodora Carracciolo.[3] Kedua orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah sebabnya anaknya, Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. [3] Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples. Di sana ia belajar mengenai kesenian dan filsafat (1239-1244). [4] Selama di sana, ia mulai tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Namun, tekadnya sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah kepada keinginan anaknya. Pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan.

Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245 -- 1248).[4] Di sinilah ia berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya.[5] Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 - 1252.

Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris.

Kecakapan Thomas sangat terkenal sehingga ia ditugaskan untuk memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris. Ia hanya tiga tahun berada di sana karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah Dominikan di Naples.[3]

Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274.[4] Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323

[[Berkas:Castello di Monte San Giovanni Campano 9.JPG|Kastil Monte San Giovanni Campano|thumb|left]]

Ajaran Thomas Aquinas

Super libros de generatione et corruptione

Thomas mengajarkan Allah sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens). Allah adalah "zat yang tertinggi", yang memunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya.

Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). "Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat," demikian kata Thomas Aquinas.

Mengenai manusia, Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.

Mengenai sakramen, ia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting adalah Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen. Dengan menerima sakramen, orang mulai berjalan menuju kepada suatu kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menjadikan ia berkenan kepada Allah. Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak bisa berbuat apa-apa yang baik tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh Allah.

Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak dapat berbuat salah dalam ajarannya. Paus memiliki kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia".

Salah satu filsuf Kristen yang mengkritik pemikiran Thomas Aquinas adalah Gordon H. Clark. Bukunya "God's Hammer" halaman 67 sampai 71 berisi kritikan beliau terhadap Thomas. Terjemahan bebas saya

"Dalam sejarah pemikiran Kristen, antithesis antara iman dan reason (akal budi) telah didekati dengan berbagai metode. Perdebatan antara sesama Kristen dan antara Kristen dengan kaum sekuler kadang-kadang mengakibatkan kebingungan karena istilah yang dipakai tidak selalu didefinisikan dengan jelas. Bukan hanya Agustinus dan Kant memiliki pandangan yang berbeda tentang natur iman, namun istilah akal budi (reason) sendiri mengandung arti yang bermacam-macam. Setelah memberikan gambaran singkat tentang latar belakang historis, penulis berharap menghindari kebingungan seperti itu dengan mengemukakan definisi akal budi (reason) yang mungkin membantu pembelaan terhadap wahyu sebagai sesuatu yang rasional

Upaya Skolastik Abad Pertengahan Dalam gambaran historis singkat ini, metode untuk menghubungkan iman dan rasio yang pertama dibahas adalah filsafat Thomistik Gereja Roma Katolik. Selain persetujuan (assent) pribadi orang percaya, dalam system ini iman artinya informasi yang diwahyukan yang ada dalam Alkitab, tradisi, dan suara hidup dari gereja Roma. Akal budi artinya informasi yang dapat diperoleh melalui pengamatan inderawi terhadap alam dan diinterpretasi intelek. Rasionalis abad ketujuhbelas membedakan akal budi (reason) dengan sensasi [inderawi], Thomas membedakan akal budi (reason) dan wahyu. Kebenaran akal budi adalah kebenaran yang dapat diperoleh melalui kemampuan indera dan intelek alamiah manusia tanpa bantuan anugerah supranatural.

Definisi iman dan akal budi ini mengakibatkan wahyu hanya “tidak masuk akal” (unreasonable) secara verbal; wahyu tidak dapat disebut tidak masuk akal atau irasional dalam pengertian yang merendahkan. Kadang-kadang kita curiga kaum sekuler menggunakan verbalisme untuk memberikan kesan yang menakutkan.

Thomisme memang menekankan ketiadaan kompatibilitas antara iman dan akal budi, namun ketiadaan kompatibilitas itu bersifat psikologis semata. Kalau Alkitab mewahyukan bahwa Allah ada dan kita percaya Alkitab, maka kita memiliki kebenaran iman. Namun demikian, menurut Thomisme adalah memungkinkan untuk mendemonstrasikan keberadaan Allah melalui pengamatan terhadap alam. Aristoteles berhasil melakukannya. Namun, kalau seseorang telah secara rasional mendemonstrasikan proposisi ini, orang itu tidak lagi “percaya”, dia tidak lagi menerima proposisi itu berdasarkan otoritas; dia “mengetahui” proposisi itu. Secara psikologis tidak mungkin pada saat yang sama “percaya” dan “mengetahui” satu proposisi. Seorang guru mungkin memberitahu siswanya bahwa segitiga memiliki 180o dan sang siswa percaya perkataan sang guru; namun setelah si siswa mempelajari buktinya, maka dia tidak lagi menerima teorema berdasarkan kata-kata guru. Si siswa sudah mengetahui sendiri. Tidak semua proposisi wahyu dapat didemonstrasikan dengan filsafat rasional; tetapi ada kebenaran-kebenaran yang dapat didemonstrasikan yang juga telah diwahyukan kepada manusia, karena Allah tahu bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan intelektual seperti Aristotle; karena itu Allah mewahyukan beberapa kebenaran itu, walaupun dapat didemonstrasikan, demi kebanyakan umat manusia.

Muatan (content) wahyu yang tidak dapat didemonstrasikan (seperti doktrin Trinitas dan sakramen), walaupun berada di luar jangkauan akal budi seperti definisi di atas, tidaklah irasional atau nonsensical. Kaum Muhammadean (Islam) Abad Pertengahan dan kaum humanis modern dapat saja mengklaim bahwa doktrin Trinitas tidak rasional, namun akal budi cukup mampu untuk mendemonstrasikan bahwa keberatan yang dikemukakan keliru/salah (fallacious). Kebenaran iman yang lebih tinggi tidak bertentangan dengan kesimpulan akal budi manapun; sebaliknya doktrin wahyu melengkapi apa yang tidak dapat dicapai oleh akal budi. Kedua rangkaian kebenaran ini, atau lebih tepatnya kebenaran yang diperoleh dari dua metode berbeda ini saling melengkapi. Bukannya menjadi penghalang bagi akal budi, iman berfungsi memberi peringatan kepada seorang pemikir bahwa dia melakukan kesalahan. Kita tidak boleh memandang seorang percaya sebagai seorang yang harus dibebaskan dari penjara imannya; iman hanya membatasi dari kesalahan. Dengan demikian iman dan akal budi serasi satu dengan yang lain.

Hanya satu kritik yang akan penulis kemukakan tentang sistem ini, tetapi kritik ini dipandang sangat penting oleh kaum Thomist dan penentangnya. Kalau argumune kosmologis bagi keberadaan Allah merupakan kesalahan logika, maka Thomisme dan pandangannya tentang hubungan antara iman dan akal budi tidak dapat dipertahankan .

Kesulitan yang dialami argumen kosmologis adalah ketidakmemadaian wahyu umum seperti dibahas sebelumnya. Kalau diasumsikan bahwa semua pengetahuan (knowledge) dimulai dengan pengalaman inderawi dan karena itu pada saat orang memandang alam tanpa pengetahuan tentang Allah, maka segala kemalangan (calamities) manusia dan keterbatasan serta perubahan di alam semesta – seberapapun luasnya galaksi-galaksi yang ada – menghalangi kesimpulan tentang satu pribadi Allah yang Mahakuasa dan juga Baik.

Terhadap keberatan-keberatan ini, yang dikemukakan dengan tajam oleh David Hume, dapat ditambahkan kritik khusus formulasi Aristotelian Thomas Aquinas. Tiga keberatan akan dikemukakan. Pertama, Thomisme tidak dapat bertahan tanpa konsep potentialitas (potentiality) dan aktualitas (actuality), namun Aristotle tidak pernah berhasil mendefinisikannya. Sebaliknya dia [Aristotle] mengilustrasikannya dengan perubahan fenomena lalu mendefinisikan perubahan atau gerak (motion) dalam hal aktualitas (actuality) dan potentialitas (potentiality). Untuk memberikan justifikasi terhadap keberatan ini, diperlukan terlalu banyak apparatus teknis yang tidak bisa diakomodasi dalam tulisan ini. Dan kalau pembaca menghendaki, dia tidak perlu memberi penekakan pada keberatan pertama.

Kedua, Thomas berargumentasi bahwa kalau kita melacak penyebab gerak (motion), kita tidak dapat meneruskan berjalan mundur tanpa batas. Alasan yang secara eksplisit diberikan dalam Summa Theologica untuk menyangkali hal itu adalah kalau hal itu terjadi maka tidak akan ada Penggerak/Penyebab Pertama (First Mover). Namun alasan yang digunakan sebagai premis ini jugalah yang digunakan sebagai kesimpulan di akhir argumen. Argumen ini dimaksudkan untuk membuktikan keberadaan First Mover, namun First Mover ini diasumsikan dulu sebagai sesuatu yang ada untuk menolak infinite regress (mundur tidak terbatas). Karena itu jelas argumen ini adalah sebuah kekeliruan (fallacy).

Alasan ketiga yang akan kita bahas lebih rumit. Namun karena terkait dengan hal yang banyak diperdebatkan saat ini, maka pantas diberikan perhatian lebih.

Bagi Thomas Aquinas, ada dua cara mengenal Allah. Pertama melalui teologi negatif. Hal itu tidak akan kita bahas di sini. Kedua melalui metode analogi. Karena Allah adalah pure being, tanpa bagian, yang esensiNya identik dengan keberadaanNya, maka istilah-istilah yang diterapkan pada Allah tidak dapat digunakan tepat dengan cara yang sama dengan pada saat diterapkan pada ciptaan. Kalau dikatakan bahwa seorang manusia bijaksana dan Allah bijaksana, harus diingat bahwa kebijaksanaan manusia adalah kebijaksanaan yang diperoleh/dipelajari, sementara itu Allah tidak pernah belajar. Pikiran manusia tunduk kepada kebenaran; kebenaran adalah pimpinannya. Namun pikiran Allah adalah penyebab kebenaran karena Allah memikirkannya, atau mungkin lebih baik diformulasikan, Allah adalah kebenaran. Karena itu istilah pikiran tidak memiliki arti yang tepat sama pada manusia dan pada Allah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk istilah-istilah di atas, tetapi juga pada gagasan tentang eksistensi. Karena keberadaan Allah adalah esensiNya – identitas yang tidak dapat diduplikasikan- maka bahkan kata keberadaan (existence) tidak berlaku sama (univocal) pada Allah dan pada ciptaan.

Pada saat yang sama, Thomas tidak mengakui bahwa istilah-istilah itu juga memiliki arti berbeda sama sekali (equivocal). Pada saat dikatakan bahwa playboys lead fast lives, while ascetics fast, kata [fast] dalam kedua anak kalimat itu tidak memiliki arti yang sama. Walaupun huruf-huruf dan pengucapannya sama, kandungan intelektual dalam kedua anak kalimat itu berbeda sama sekali. Thomas memilih jalan tengah antara perbedaan makna (equivocation) dan kesatuan makna ketat (strict univocity) dengan mengatakan bahwa kata-kata bisa digunakan secara analogis; dan dalam hal Allah dan manusia, predikat yang digunakan diterapkan secara analogis.

Jika makna analogis dari bijaksana atau keberadaan memiliki bidang arti yang sama [bagi manusia dan Allah], maka bidang arti ini pasti dapat dikemukakan dengan menggunakan satu istilah yang berlaku untuk keduanya. Istilah ini dapat digunakan untuk Allah dan untuk manusia. Namun Thomas menekankan bahwa tidak ada istilah yang dapat diterapkan demikian. Implikasinya adalah semua sisa kemungkinan makna identik di antara keadaan terhapus. Namun kalau memang demikian adanya, bagaimanasebuah argument – argument kosmologis – secara formal syah kalau premis menggunakan satu istilah dengan pengertian tertentu dan dalam kesimpulannya menggunakan istilah yang sama dengan arti yang berbeda sama sekali? Premis argument kosmologis berbicara tentang eksistensi penggerak/penyebab (mover) dalam kisaran pengalaman manusia; kesimpulannya terkait dengan keberadaan Penggerak/Penyebab Pertama. Namun, jika istilah ini tidak dapat dipahami dengan pengertian yang sama, maka argument tersebut keliru/salah (fallacious).

Karena itu, upaya untuk secara Thomistik menghubungkan iman dan akal budi gagal – lebih karena pandangannya tentang akal budi dari pada terhadap iman-; perlu ada upaya lain untuk membela rasionalitas wahyu. [6]

Referensi

  1. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. 2005. Jakarta. Penerbit: BPK Gunung Mulia
  2. Tony Lane. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. 2005. Jakarta. Penerbit: BPK Gunung Mulia
  3. 3,0 3,1 3,2 Mortimer J.Adler (ed.). Great Books of The Western World: 17 Aquinas:1. 1952. London. Penerbit: Encyclopedia Britannica, Inc.
  4. 4,0 4,1 4,2 Robert Audi (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. 1941. New York. Penerbit: Cambridge University Press.
  5. Susan Lynn Peterson. Timeline Charts of The Western Church. 1957. Michigan. Penerbit: Zondervan Publishing House
  6. google

Pranala luar