Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Telur bitan | |
---|---|
Nama lain | telur yang diawetkan, telur seratus tahun, telur seribu tahun, telur berumur seribu tahun, telur milenium, telur hitam, telur menghitam, telur kulit, telur tua |
Tempat asal | Hunan, Tiongkok |
Bahan utama | Telur diawetkan dalam tanah liat, abu, garam, kapur, dan sekam padi |
Variasi | telur bebek, telur ayam, atau telur puyuh |
• L • B | |
Telur bitan (Hanzi: 皮蛋; Pinyin: pídàn), telur hitam, atau telur seribu tahun adalah makanan khas Tionghoa yang dibuat dari telur ayam atau itik yang diawetkan di dalam campuran lempung, abu, garam, kapur tohor dan sekam padi selama beberapa minggu atau sampai beberapa bulan, tergantung metode proses. Selama diawetkan, kuning telur akan berubah menjadi hijau gelap dan menjadi seperti krim dengan bau belerang dan amonia, sementara putih telur berubah menjadi kecokelatan dan sedikit transparan.[1]
Telur berubah dikarenakan adanya material alkalin yang menaikkan pH dari telur menjadi 9[2] atau lebih. Proses kimiawi ini menghancurkan beberapa kandungan protein dan lemak yang kompleks di dalam telur yang awalnya tidak berasa menjadi berasa dan berbau kuat. Kadang telur memiliki corak-corak seperti cabang pinus di bagian putihnya.
Asal dari makanan ini kemungkinan dari munculnya kebutuhan mengawetkan telur dengan cara dilapisi dengan tanah liat alkali, yang hampir mirip dengan pengawetan telur di kebudayaan barat. Tanah liat ini mengeras dan mengawetkan isi telur di dalamnya menjadi kehijauan namun masih bisa dikonsumsi manusia. Bukan sebaliknya, malah menjadi telur busuk.
Catatan tertulis mengenai pembuatan telur bitan ditemukan dari sumber yang berasal dari tahun 1640[2] Ada pula yang memperkirakan bahwa telur bitan telah mulai ditemukan 500 tahun lalu. Penemuan cara produksinya, walaupun tidak bisa diverifikasi, diperkirakan dari masa Dinasti Ming di Hunan, 600 tahun lalu. Seorang pemilik rumah menemukan telur bebek di genangan air kecil yang berisi larutan kalsium hidroksida, yang digunakan sebagai bahan adukan untuk pembuatan rumahnya, dua bulan sebelumnya. Ia memutuskan untuk membuat lebih banyak dengan menambahkan garam untuk memperbaiki rasanya, sehingga terciptalah resep pembuatan telur bitan.
Cara tradisional untuk membuat telur bitan adalah dengan cara menggunakan abu kayu, kalsium oksida, dan garam. Dengan demikian pH dan kandungan sodiumnya meningkat. Penambahan alkali alami ini meningkatkan kemungkinan berhasilnya pembuatan telur bitan serta kecepatan proses pembuatannya. Pembuatan diawali dengan merebus 1,3 kilogram teh di dalam air, yang kemudian ditambahkan dengan 1,3 kilogram kalsium oksida (atau 3,1 kilogram jika dilakukan di musim dingin), 4 kilogram garam laut, dan 3,1 kilogram abu dari kayu oak, lalu diaduk hingga menjadi pasta yang lembut. Setiap telur dilapisi dengan pasta ini dan digulingkan di atas sekam beras supaya tidak menempel satu sama lain. Pasta lumpur ini kemudian mengering dan disimpan selama berbulan-bulan di gentong yang ditutupi dengan kain atau keranjang yang dianyam dengan rapat. Akhirnya telur bitan siap dikonsumsi.
Meskipun cara tradisional masih banyak digunakan, cara modern telah banyak menyederhanakan proses pembuatan telur bitan. Misalnya merendam telur di larutan garam, kalsium hidroksida dan sodium karbonat selama 10 hari dan diikuti penyimpanan dalam waktu beberapa minggu bisa menghasilkan telur yang serupa. Hal ini karena pada dasarnya penambahan ion hidroksida dan sodium kepada telur sama-sama terjadi dalam proses tradisional maupun modern.
Telur bitan dapat dimakan begitu saja, sebagai pendamping, atau dicampur dengan bahan makanan lainnya, menciptakan resep baru. Di Hong Kong, telur ini bisa dijumpai dalam bentuk goreng tepung. Di Taiwan, dimakan bersama tahu rebus yang sudah didinginkan, ditambahi katsuobushi (serutan halus ikan cakalang kering) dan minyak wijen. Sementara di Jakarta bisa ditemui dalam bentuk sayur tumis, biasanya tomio, dengan cacahan telur asin dan telur bitan.[3] Di Singapura, bisa pula ditemukan Century Year Egg Salad yang dijual sebagai bagian dari budaya masyarakat keturunan Tionghoa.[4]
Telur bitan juga sering dicampurkan ke dalam bubur untuk menguatkan rasa, sehingga disebut bubur bitan.[5] Selain itu beberapa resep yang bisa ditemui antara lain dimasak saus asam manis [6]
Telur bitan merupakan bagian dari lahng-poon, yang secara harfiah berarti makanan dingin, yang biasanya disajikan pada pesta perkawinan, bersama dengan irisan daging babi panggang, acar daun bawang mini, irisan tiram abalone, acar irisan wortel, acar irisan lobak cina, irisan ubur-ubur yang dibumbui, irisan daging babi, acar babi, dan potongan telur bitan.[7]
Beberapa kepercayaan masyarakat mengenai telur ini adalah dibuat dengan menggunakan kencing kuda, yang sama sekali tidak benar. Sebab kencing kuda hanya memiliki pH 7.5 hingga 7.9, jika dibandingkan pH 9-12 yang digunakan dalam pembuatan telur bitan dengan menggunakan kalsium oksida dan abu kayu.[8]
Penambahan timbal(II) oksida diketahui bisa mempercepat proses pembuatan telur bitan, walaupun berbahaya karena bersifat meracuni. Cara ini dipraktikkan oleh pembuat telur bitan yang tidak bertanggung jawab pada masa lalu. Kini, alternatif yang lebih aman digunakan, yaitu seng oksida.[2] Meskipun zat seng dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun konsumsi berlebihan bisa menyebabkan tubuh kekurangan zat tembaga.
Selain itu, angka pH yang tinggi, sekitar 9, membuat telur bitan memungkinkan perkembangan bakteri Salmonella, dan di sisi lain, angka pHnya tidak cukup tinggi untuk bisa menekan perkembangan bakteri tersebut.[2]
[[Kategori:Hidangan Tionghoa-Indonesia