Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
King Lear (Raja Lear) adalah sandiwara tragedi karya William Shakespeare yang terkenal. Sandiwara ini didasarkan atas legenda Raja Leir yang berasal dari Britania, dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam bentuk buku berjudul "Raja Lear" karya Trisno Sumardjo.[1]
Sandiwara ini menceritakan kisah tentang seorang raja yang menyerahkan takhtanya, para putri yang tega menipu ayahnya hingga sang ayah akhirnya memutuskan hubungan dengan putri yang disayanginya, istri yang berencana melawan suaminya, serta perkelahian antar saudara, dan saudari yang dipengaruhi oleh rasa iri hati hingga saat kematiannya. Kisah Raja Lear ini menampilkan keadaan keluarga yang mengenaskan. Keluarga yang saling melukai satu sama lain hingga memiliki luka dalam yang timbul melalui tangan orang-orang yang paling disayangi.
Britania Kuno
Raja Lear berniat untuk memberikan kedua anak tertuanya, Goneril dan Regan, dua bagian dari wilayah kerajaan yang sama besarnya dan sama kayanya. Sedangkan bagian ketiga dari kerajaan tersebut, yakni wilayah yang paling besar, paling baik, dan lebih subur dari dua wilayah lainnya telah Lear siapkan untuk putri kesayangannya, Cordelia. Cordelia adalah anak termuda Lear, dan yang paling bijaksana diantara kedua saudaranya.
Karena Cordelia akan dinikahkan dengan Adipati Burgundy atau Raja Prancis, artinya ia akan tinggal di seberang lautan, dan memerintah daerahnya dari jauh. Sayangnya, Lear tidak dapat berpisah dengan Cordelia dan ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan anak bungsunya tersebut. Karenanya ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk membagikan warisan wilayah kerajaannya.
Untuk membuat pembagiannya tampak adil, sang raja mengumumkan suatu ujian untuk menguji rasa sayang anak-anaknya. Ia memanggil seluruh pejabat kerajaan, para pangeran yang ingin melamar Cordelia, dan ketiga putrinya. Raja Lear mengumumkan bahwa ia akan membagikan kerajaanya sesuai dengan cara anaknya menunjukkan rasa cinta mereka kepada ayah mereka. Lear percaya bahwa Cordelia akan memberikan jawaban terbaik.
Goneril adalah yang pertama menjawab, ia meletakkan tangannya di dadanya dan berkata bahwa ia mencintai ayahnya lebih dari segalanya, demikian juga Regan yang menambahi bahwa tidak ada kecintaan lain selain rasa cintanya kepada ayahnya. Lear lalu menunggu jawaban Cordelia, tetapi Cordelia hanya diam. Ia sangat mencintai ayahnya, tetapi merasa bahwa ujian ini tidak benar. Ia tidak dapat membual seperti kakak-kakaknya. Ia berusaha keras untuk memberikan jawaban, "Tidak ada, rajaku".
Sang raja marah hingga darahnya memuncak sampai ke ubun-ubun. "Tidak ada tidak akan menghasilkan apa pun. Coba jawab lagi." Cordelia menjawab bahwa sang raja telah memperanakannya, membesarkannya, dan mencintainya. Ia telah membalas cintanya dengan mematuhinya, mencintainya kembali, dan menghormatinya. Cordelia lalu menunjuk kepada kedua kakaknya seraya berkata bahwa jika mereka mencintai ayah mereka, mengapa mereka menikah dengan orang lain?
Jawaban Cordelia adalah jawaban yang jujur, tetapi menyakitkan dan membuat raja sangat malu. Lear adalah raja yang biasa mendengar apa yang ia inginkan, dan dengan menggelegar ia menyobek peta daerah yang akan diberikan ke Cordelia menjadi dua, dan masing-masing ditambahkannya ke daerah kakak-kakaknya. Sang raja lalu memutuskan hubungannya dengan Cordelia. Cordelia berlinang air mata, tetapi kepalanya tetap tegak. Patih Kent, penasihat paling setia sang raja tidak dapat berdiam diri lagi. Ia menegur sang raja dengan mengatakan bahwa Cordelia-lah yang paling mencintai sang raja dari antara ketiganya, dan ia mengatakan bahwa sang raja telah berbuat kesalahan.
Kata-kata sang penasihat semakin membuat marah sang raja. Ia mengusir sang Patih dari kerajaannya dengan ancaman hukuman mati. Sang raja lalu memanggil kedua pangeran yang ingin melamar Cordelia, dan bertanya apakah mereka masih mau menikahi Cordelia setelah Cordelia tidak memiliki warisan apa-apa lagi. Adipati Burgundy segera mengundurkan diri tetapi Raja Prancis terkesan dengan kejujuran Cordelia. Ia berkata bahwa ia sekarang lebih mencintainya lagi dan akan menjadikannya ratu bagi kerajaannya.
Setelah kejadian tersebut berakhir, Patih Gloucester (seorang Patih yang lain) berdiri tertegun. Sang Patih adalah salah satu bangsawan tertinggi di kerajaan. Ia tidak pernah melihat sang raja bertindak demikian. Gloucester juga memikirkan tentang kedua anaknya, Edgar dari istrinya dan Edmund dari gundiknya. Ia berpikir bahwa tidak ada yang dapat memisahkannya dari kedua anaknya, atau benarkah demikian?
Sang Patih tidak menyangka bahwa disaat yang bersamaan Edmund sedang merencanakan suatu perbuatan jahat untuk memiiki tanah ayahnya. Ia berencana untuk mengadu domba antara ayahnya dan kakaknya, Edgar. Edmund masuk ke ruang kerajaan sembari membaca sebuah surat. Setelah yakin bahwa sang ayah melihatnya, ia segera menyembunyikan surat tersebut ke kantongnya. Gloucester yang tertarik segera menghampiri Edmund dan meminta surat tersebut, ia menyangkanya surat itu merupakan surat cinta atau semacamnya. Edmund berpura-pura menolak dengan berkata bahwa surat tersebut dari kakaknya dan ia tidak mau sang ayah membacanya karena berisi pesan yang tidak berkenan. Gloucester menjadi serius. Ia ingin membaca surat tersebut. Edmund memberikan surat yang telah ia palsukan agar menyerupai tulisan kakaknya. Di dalam surat tersebut dituliskan bahwa Edgar berencana untuk mendapatkan warisannya, membuat siasat untuk membunuh ayahnya.
Sang Patih merasa sangat tertekan. Ia meminta Edmund mencari informasi lebih lanjut mengenai Edgar dan melapor kepadanya. Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Edmund. Ia mencari Edgar dan dengan bersumpah setia kepadanya mengatakan bahwa ayah mereka berencana untuk membunuh Edgar karena alasan yang tidak diketahui. Edmund meminta Edgar melarikan diri dan bersembunyi. Ia berjanji untuk menengahi perkara mereka untuk Edgar. Edgar terkejut dengan peringatan tersebut, tapi ia percaya kepada adiknya dan lari ke luar kota.
Seminggu kemudian, Raja Lear mengunjungi putrinya Goneril di istana putrinya. Ia membawa seratus ksatria dengannya dan seorang badut kerajaan. Sang raja dan pengikutnya menghabiskan waktu dengan berburu dan berpesta. Hal itu menghabiskan tenaga para pelayan istana dan menghabiskan kesabaran Goneril. Goneril meminta para pelayannya untuk mengabaikan permintaan ayahnya karena dialah yang berkuasa atas sebagian kerajaannya. Goneril menjadi besar kepala. Ia mengabaikan janjinya untuk merawat sang ayah pada hari tuanya.
Lear terkejut dengan perlakuan putrinya, dan menceritakan perbuatan putrinya kepada badut kerajaan. Di sore hari, seseorang yang berpakaian sederhana memohon untuk menjadi pelayan sang raja. Ia menjadi orang yang dapat memaksa para pelayan melakukan tugas mereka. Raja Lear tidak mengenal orang tersebut, yang ternyata adalah sang Patih Kent yang telah diusir, ia ingin tetap melayani sang raja dengan sembunyi-sembunyi.
Goneril merasa marah dengan pegawai baru ayahnya, ia memerintahkan ayahnya untuk mengusir lima puluh kesatrianya. Raja Lear marah, ia meminta Kent untuk pergi ke putri keduanya, Regan untuk menceritakan kejahatan kakaknya. Goneril kemudian mengirimkan utusan ke Regan dengan membawa cerita versinya sendiri. Raja Lear keluar dari istana Goneril. Ia hampir gila karena amarahnya. Ia berteriak menghadap langit, meminta agar ia tidak menjadi gila.
Sementara itu, Regan dan suaminya, Adipati Cornwall, sedang dalam perjalanan mengunjungi Patih Gloucester yang istananya terletak di antara istananya Regan dan Goneril. Kent dan utusan Goneril tiba di saat yang bersamaan di istana Gloucester. Ketika Kent melihat bahwa utusan Goneril membawa surat yang jahat kepada Regan, ia yang hilang kesabaran kemudian menyerang sang pesuruh. Cornwall tidak menyukai hal ini. Ia meminta pengawalnya mengurung Kent sebagai hukuman. Sang tuan rumah, pada saat yang bersamaan sedang bermasalah dengan tuduhan pengkhianatan anaknya, Edgar, sehingga ia tidak melerainya.
Tidak lama, Raja Lear tiba di istana Gloucester. Belum sempat ia berjumpa dengan anaknya, Goneril tiba. Kedua putri tertuanya bersama-sama menghadap ayah mereka. Raja Lear yang marah berteriak dan berjalan cepat menuju hutan. Awan hitam tampak di kejauhan pertanda akan turun badai. Kent dan sang badut pergi mencari sang raja karena mengkhawatirkan keadaannya. Raja Lear menerjang badai sembari berteriak. Kilat dan guntur menggelegar sebagai balasannya. Kent berhasil menemukan sang raja dan menuntunnya ke gubuk kecil terdekat.
Selagi berteduh, sang raja membayangkan kehidupan sebelumnya yang bergelimang kekayaan sementara banyak rakyatnya yang menderita kemiskinan. Sang raja teringat akan kesalahannya. Di dalam gubuk tersebut mereka bertemu dengan seseorang yang berpakaian dari karung. Orang rang tersebut adalah Edgar, anak Gloucester yang baik. Edgar tidak dapat pergi dari Inggris, semua prajurit mencari dia di pelabuhan-pelabuhan. Lebih aman baginya bersembunyi di dekat istana. Ketika ditanya oleh Kent, Edgar memperkenalkan dirinya sebagai Tom, seorang pengemis gila.
Di dalam istananya, Gloucester bersiap untuk menerjang badai guna menyelamatkan rajanya. Sang Patih juga mendapat kabar bahwa Cordelia dan bala tentara Prancis telah mendarat di Dover. Mereka berencana untuk menyelamatkan Lear dan membalaskan segala penghinaan yang diterimanya. Gloucester bersiap untuk berangkat. Edmund, anaknya yang jahat, segera pergi mengabari tamunya, Goneril, Regan dan suaminya Cornwall tentang informasi yang diterima ayahnya. Sebagai ucapan terima kasih, Cornwall mencabut kedudukan Gloucester dan memberikan jabatan serta tanah Gloucester kepada Edmund. Kemudian ia menyuruh Edmund untuk menemani Goneril kembali ke istananya untuk memperingati suaminya, Adipati Albany, agar bersiap menghadapi invasi Prancis.
Sementara itu, Gloucester melintasi badai untuk mencari rajanya. Ia menemukan rajanya berteriak tidak keruan dengan seseorang yang gila yang kotor di dalam sebuah liang. Lear bertingkah seolah-olah sedang berada di istananya. Ia membayangkan Tom dan badutnya sebagai kedua putrinya. Lear mengadili kedua putrinya karena perlakuan mereka yang tidak manusiawi. Khawatir dengan keadaan rajanya, Gloucester meminta Kent dan sang badut untuk membawa raja ke Dover agar bertemu dengan Cordelia, lalu Gloucester diam-diam kembali ke istananya. Setibanya di gerbang istana, dua orang penjaga menangkapnya dan mengikatnya di kursi. Regan menyebutnya pengkhianat karena membantu sang raja dan tidak memberitahunya tentang kedatangan tentara Prancis.
Cornwall maju dan mencungkil satu mata Gloucester. Regan memintanya mencungkil satu mata lainnya. Bawahan Cornwall terkejut dengan perlakuan biadab tuannya, dan satu orang mencabut pedangnya untuk menghentikan tuannya. Bawahan tersebut berhasil melukai Cornwall dengan parah namun akhirnya ditusuk mati oleh Regan. Cornwall tertatih-tatih lalu berdiri dan mencungkil mata Gloucester yang lainnya. Gloucester berteriak memanggil Edmund, anaknya, untuk membalas dendamnya. Regan berbisik di telinga Gloucester yang telah buta dan memberitahunya bahwa Edmundlah yang mengkhianatinya. Lalu ia melepaskan Gloucester agar ia dapat mengembara sampai Dover. Regan berlutut di samping suaminya yang sekarat.
Setelah dibebaskan, Tom menemukannya, tetapi Gloucester tidak mengenalinya sebagai Edgar. Edgar yang sangat terpukul dengan kondisi ayahnya berteriak layaknya orang gila. Sang Patih yang buta meminta Tom untuk menuntunnya ke tebing yang tinggi di dekat Dover. Sambil berjalan, Gloucester mengeluhkan nasib yang menimpanya. Edgar yang mengetahui bahwa ayahnya berencana untuk melompat dari tebing, menuntunnya ke bukit yang rendah dan meyakinkannya bahwa mereka telah tiba di tebing yang tinggi.
Sebelum melompat, Gloucester berteriak memanggil Edgar, anaknya yang baik, lalu ia melompat ke depan. Gloucester jatuh pingsan ke tanah yang lunak. Edgar lalu membangunkan ayahnya dan berpura-pura menjadi orang lain serta bersumpah bahwa ia melihatnya jatuh dari ketinggian yang sangat tinggi. Sang Patih tua terkesima karena Tuhan masih melindunginya. Ia bersumpah tidak akan lagi berusaha untuk bunuh diri.
Tiba-tiba seorang pria melompat dengan pedang terangkat untuk membunuh mereka. Edgar menghunuskan pisaunya dan membunuh orang tersebut. Orang itu adalah utusan Goneril untuk membunuh Gloucester. Setelah Edgar memeriksa tubuhnya ia menemukan dua gulungan surat. Yang satu dialamatkan untuk Edmund dari Regan. Regan memintanya untuk menikahinya karena suaminya telah mati. Sedangkan surat kedua dari Goneril yang meminta Edmund untuk membunuh suaminya, Albany, sehingga ia dapat menjadi istrinya. Edgar menyimpan surat tersebut.
Tidak disangka seseorang yang lain muncul, ia berbaju kotor, tidak bersenjata, dan penuh dengan duri semak belukar. Ia menggerutu. Gloucester yang mendengar suaranya tahu itu adalah sang raja. Dari kejauhan terdengar suara yang ternyata adalah prajurit di bawah komando Cordelia. Pasukannya berkemah di dekat situ. Sebelum Edgar atau Gloucester sempat bertindak, sang raja telah lari dengan berteriak. Keduanya berhasil mengejar sang raja dan membawanya ke tenda Cordelia.
Di tenda itu sang raja tidur dengan pulas, sementara persiapan perang dilakukan. Ketika ia terbangun, ia melihat Cordelia di sampingnya dan meminta maaf kepadanya. Cordelia memeluk ayahnya, bahagia karena ayahnya sudah sadar. Lear akhirnya mengenali Patih Kent, dan dengan bahagia berkumpul kembali dengan putri kesayangannya dan penasihat kepercayaannya, sang raja kembali tertidur.
Tidak jauh dari perkemahan pasukan Cordelia, tentara Regan dan Goneril serta Albany telah bersatu. Ketiganya bertemu dengan Edmund yang akan memimpin pasukan gabungan tersebut. Namun pikiran kedua saudari tersebut tidak terpusat pada peperangan di depan, melainkan mereka bertarung untuk memenangkan cinta Edmund. Sementara Regan dan Goneril berseteru, Edgar mengendap-endap memasuki perkemahan mereka. Ketika bertemu Albany, ia meminta izin untuk menantang Edmund. Sebagai bukti pengkhianatan Edmund, Edgar menawarkan surat Goneril yang berencana membunuh Albany. Albany setuju untuk memanggil Edgar pada saat yang tepat.
Edmund memimpin pasukan gabungan melawan tentara Prancis yang dikalahkannya dengan mudah, Cordelia dan Lear ditawan. Adipati Albany merasa jijik dengan perbuatan istrinya, Goneril, dan iparnya, Regan, terhadap cara mereka memperlakukan ayah mereka. Albany memerintahkan Lear dan Cordelia supaya dilepaskan. Tetapi Edmund memiliki rencana lain untuk menjadi raja seluruh Britania. Diam-diam dia menyuruh orang untuk membunuh para tawanan tersebut.
Edgar lalu kembali menemui Gloucester yang tinggal di luar perkemahan. Ia bersujud dan mengungkapkan identitas aslinya. Sang ayah, yang sebelumnya sangat lemah karena kesakitan dan pengkhianatan anaknya, tiba-tiba disegarkan kembali oleh karena kabar baik tersebut. Hatinya meluap-luap. Patih tua tersebut mati dengan damai di pangkuan anaknya. Edgar dengan sedih melepaskan jasad ayahnya dan kembali ke perkemahan Britania untuk menantang saudaranya yang jahat.
Albany telah bertindak, ia menyebut Edmund sebagai pengkhianat. Edmund dengan santai meminta saksi. Albany lalu mengundang Edgar dan kedua saudara tersebut kemudian bertarung. Sementara itu, Regan tiba-tiba terjatuh. Goneril menyembunyikan tawanya sambil berkata dalam hati bahwa racunnya telah bekerja. Sementara itu akhirnya sang kakak berhasil melukai sang adik hingga parah. Begitu Edmund terjatuh, maka Goneril bersujud di kakinya. Albany lalu menunjukkan suratnya yang membuat Goneril ketakutan dan berlari ke tendanya.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan yang ketakutan melaporkan bahwa Regan telah mati karena racun Goneril, dan Goneril telah bunuh diri dengan pisau. Menghadapi kematian di ujung mata, Edmund mengakui kepada Albany bahwa ia telah menyuruh orang membunuh Cordelia dan Lear. Sang Adipati dengan segera menyuruh orang membatalkan perintah tersebut, tetapi terlambat. Sang raja berteriak dengan sedih sambil menopang tubuh Cordelia yang tidak bernyawa di tangannya. Kent dan Albany kemudian menghampirinya. Lear dengan lembut meraba bibir putrinya yang memutih dan memegang tangannya. Lalu ia menegakkan kepalanya dan mengutuki semua pengkhianat. Sang raja terlalu sedih untuk meneruskan hidupnya. Ia mengalungkan tangan Cordelia di lehernya. Lalu di tengah-tengah pelukan dingin anaknya yang paling mencintainya, ia menghampiri kematiannya sendiri.
Drama Shakespeare didasarkan pada berbagai kisah tentang sosok Brythonic semi-legendaris Leir dari Inggris, yang namanya telah dikaitkan oleh beberapa sarjana [2][3][4] dengan dewa Brythonic Lir/Llŷr, meskipun sebenarnya nama-nama tersebut tidak terkait secara etimologis. Sumber terpenting Shakespeare mungkin adalah edisi kedua The Chronicles of England, Scotlande, and Irelande oleh Raphael Holinshed, diterbitkan pada tahun 1587. Holinshed sendiri menemukan cerita tersebut dalam Historia Regum Britanniae sebelumnya oleh Geoffrey dari Monmouth, yang ditulis pada abad ke-12. The Faerie Queene karya Edmund Spenser, diterbitkan tahun 1590, juga memuat karakter bernama Cordelia, yang juga meninggal karena digantung, seperti dalam King Lear.[5]
Sumber lain yang mungkin adalah drama anonim King Leir (diterbitkan pada tahun 1605); Cermin untuk Hakim (1574), oleh John Higgins; The Malcontent (1604), oleh John Marston; London yang Hilang (1605); Esai Montaigne, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Florio pada tahun 1603; Sebuah Deskripsi Sejarah Iland of Britaine (1577), oleh William Harrison; Remaines Concerning Britaine (1606), oleh William Camden; Inggris Albion (1589), oleh William Warner; dan Deklarasi penipuan kepausan yang mengerikan (1603), oleh Samuel Harsnett, yang menyediakan beberapa bahasa yang digunakan oleh Edgar saat dia berpura-pura gila. King Lear juga merupakan varian sastra dari cerita rakyat biasa, Love Like Salt, Aarne–Thompson tipe 923, di mana seorang ayah menolak putri bungsunya karena pernyataan cintanya yang tidak menyenangkannya.[6][7]
Sumber subplot yang melibatkan Gloucester, Edgar, dan Edmund adalah sebuah kisah dalam Arcadia Countess of Pembroke karya Philip Sidney (1580–90), dengan seorang raja Paphlagonian yang buta dan kedua putranya, Leonatus dan Plexitrus.
Selain subplot yang melibatkan Earl of Gloucester dan putra-putranya, inovasi utama yang dibuat Shakespeare untuk cerita ini adalah kematian Cordelia dan Lear di bagian akhir; dalam akun oleh Geoffrey dari Monmouth, Cordelia mengembalikan Lear ke takhta, dan menggantikannya sebagai penguasa setelah kematiannya. Selama abad ke-17, akhir tragis Shakespeare banyak dikritik dan versi alternatif ditulis oleh Nahum Tate, di mana karakter utama selamat dan Edgar dan Cordelia menikah (terlepas dari kenyataan bahwa Cordelia sebelumnya bertunangan dengan Raja Prancis). Harold Bloom menyatakan: "Versi Tate memegang panggung selama hampir 150 tahun, sampai Edmund Kean mengembalikan akhir tragis drama itu pada tahun 1823." [8]
Holinshed menyatakan bahwa cerita diatur ketika Joash adalah Raja Yehuda (c. 800 SM), sementara Shakespeare menghindari penanggalan pengaturan, hanya menunjukkan bahwa kadang-kadang di era pra-Kristen.
Karakter Earl "Caius" dari Kent dan The Fool diciptakan sepenuhnya oleh Shakespeare untuk terlibat dalam percakapan berbasis karakter dengan Lear. Oswald si pelayan, orang kepercayaan Goneril, diciptakan sebagai perangkat ekspositori yang serupa.
Lear Shakespeare dan karakter lainnya membuat sumpah untuk Jupiter, Juno, dan Apollo. Sementara kehadiran agama Romawi di Inggris secara teknis merupakan anakronisme, tidak ada yang diketahui tentang agama apa pun yang ada di Inggris pada saat dugaan kehidupan Lear.
Holinshed mengidentifikasi nama pribadi Adipati Albany (Maglanus), Adipati Cornwall (Henninus), dan pemimpin Galia/Prancis (Aganippus). Shakespeare mengacu pada karakter ini hanya dengan judul mereka, dan juga mengubah sifat Albany dari penjahat menjadi pahlawan, dengan menetapkan kembali perbuatan jahat Albany ke Cornwall. Maglanus dan Henninus terbunuh dalam pertempuran terakhir, tetapi selamat oleh putra mereka, Margan dan Cunedag. Dalam versi Shakespeare, Cornwall dibunuh oleh seorang pelayan yang keberatan dengan penyiksaan Earl of Gloucester, sementara Albany adalah salah satu dari beberapa karakter utama yang masih hidup. Isaac Asimov menduga bahwa perubahan ini disebabkan oleh gelar Adipati Albany yang dipegang pada tahun 1606 oleh Pangeran Charles, putra bungsu dari dermawan Shakespeare, Raja James.[9] Namun, penjelasan ini salah, karena putra sulung James, Pangeran Henry, memegang gelar Duke of Cornwall pada saat yang sama.
Tidak ada bukti langsung yang menunjukkan kapan King Lear ditulis atau pertama kali dipentaskan. Diperkirakan telah disusun antara tahun 1603 dan 1606. Catatan A Stationers' Register mencatat pertunjukan sebelum James I pada 26 Desember 1606. Tanggal 1603 berasal dari kata-kata dalam pidato Edgar yang mungkin berasal dari Deklarasi Samuel Harsnett tentang Penipuan Kepausan yang Mengerikan ( 1603).[10] Isu penting dalam penanggalan drama tersebut adalah hubungan King Lear dengan drama berjudul The True Chronicle History of the Life and Death of King Leir and his Three Daughters, yang diterbitkan untuk pertama kalinya setelah entrinya di Stationers' Daftar 8 Mei 1605. Drama ini memiliki pengaruh yang signifikan pada Shakespeare, dan studinya yang dekat menunjukkan bahwa ia menggunakan salinan cetak, yang menunjukkan tanggal komposisi 1605–06.[5] Sebaliknya, Frank Kermode, di Riverside Shakespeare, menganggap penerbitan Leir sebagai tanggapan atas pertunjukan drama yang sudah ditulis Shakespeare; mencatat soneta oleh William Strachey yang mungkin memiliki kemiripan verbal dengan Lear, Kermode menyimpulkan bahwa "1604–05 tampaknya kompromi terbaik".
Sebuah baris dalam drama yang membahas "Gerhana matahari dan bulan ini" [11] tampaknya merujuk pada fenomena dua gerhana yang terjadi di London dalam beberapa hari satu sama lain—gerhana bulan 27 September 1605 dan gerhana matahari 12 Oktober 1605. Sepasang peristiwa yang luar biasa ini menimbulkan banyak diskusi di antara para astrolog. Baris Edmund "Sebuah prediksi yang saya baca beberapa hari yang lalu..." [12] tampaknya merujuk pada ramalan yang dipublikasikan dari para astrolog, yang mengikuti setelah gerhana. Ini menunjukkan bahwa baris-baris dalam Babak I ditulis beberapa saat setelah gerhana dan komentar yang dipublikasikan.
Teks modern King Lear berasal dari tiga sumber: dua kuarto, satu diterbitkan pada tahun 1608 (Q1) dan yang lainnya pada tahun 1619 (Q2),[a] dan versi dalam Folio Pertama tahun 1623 (F1). Q1 memiliki "banyak kesalahan dan kekacauan".[13] Q2 didasarkan pada Q1. Ini memperkenalkan koreksi dan kesalahan baru.[13] Q2 juga menginformasikan teks Folio.[14] Teks Quarto dan Folio berbeda secara signifikan. Q1 berisi 285 baris tidak di F1; F1 berisi sekitar 100 baris tidak di Q1. Juga, setidaknya seribu kata individu diubah antara dua teks, setiap teks memiliki gaya tanda baca yang berbeda, dan sekitar setengah baris ayat di F1 dicetak sebagai prosa atau dibagi secara berbeda di Q1. Editor awal, dimulai dengan Alexander Pope, menggabungkan kedua teks tersebut, menciptakan versi modern yang telah umum digunakan sejak saat itu. Versi gabungan berasal dari asumsi bahwa perbedaan dalam versi tidak menunjukkan penulisan ulang oleh penulis; bahwa Shakespeare hanya menulis satu naskah asli, yang sekarang hilang; dan bahwa versi Quarto dan Folio mengandung berbagai distorsi dari aslinya yang hilang. Pada tahun 2021, Duncan Salkeld mendukung pandangan ini, menunjukkan bahwa Q1 diset oleh pembaca yang mendikte compositor, yang menyebabkan banyak kesalahan yang disebabkan oleh salah dengar.[15] Editor lain, seperti Nuttall dan Bloom, telah menyarankan Shakespeare sendiri mungkin terlibat dalam pengerjaan ulang bagian dalam drama untuk mengakomodasi pertunjukan dan persyaratan tekstual lainnya dari drama tersebut.
Pada awal tahun 1931, Madeleine Doran menyatakan bahwa kedua teks tersebut memiliki sejarah yang independen, dan bahwa perbedaan di antara keduanya sangat menarik. Argumen ini, bagaimanapun, tidak dibahas secara luas sampai akhir 1970-an, ketika dihidupkan kembali, terutama oleh Michael Warren dan Gary Taylor, yang membahas berbagai teori termasuk gagasan Doran bahwa Quarto mungkin telah dicetak dari kertas busuk Shakespeare, dan bahwa Folio mungkin telah dicetak dari buku petunjuk yang disiapkan untuk produksi.[16]
The New Cambridge Shakespeare telah menerbitkan edisi Q dan F yang terpisah; edisi Pelican Shakespeare terbaru berisi teks Quarto 1608 dan Folio 1623 serta versi gabungan; edisi Arden Baru diedit oleh R.A. Foakes menawarkan teks gabungan yang menunjukkan bagian-bagian yang hanya ditemukan di Q atau F. Baik Anthony Nuttall dari Universitas Oxford dan Harold Bloom dari Universitas Yale telah mendukung pandangan Shakespeare yang telah merevisi tragedi itu setidaknya sekali selama hidupnya.[17] Seperti yang ditunjukkan Bloom: "Pada penutupan King Lear yang direvisi Shakespeare, Edgar yang enggan menjadi Raja Inggris, menerima takdirnya tetapi dalam aksen keputusasaan. Nuttall berspekulasi bahwa Edgar, seperti Shakespeare sendiri, merebut kekuatan memanipulasi penonton dengan menipu Gloucester yang malang."[17]
John F. Danby, dalam karyanya Shakespeare's Doctrine of Nature – A Study of King Lear (1949), berpendapat bahwa Lear mendramatisasi, antara lain, makna "Alam" saat ini. Kata-kata "alam", "alami", dan "tidak wajar" muncul lebih dari empat puluh kali dalam drama tersebut, mencerminkan perdebatan di zaman Shakespeare tentang seperti apa alam itu sebenarnya; perdebatan ini meliputi permainan dan menemukan ekspresi simbolis dalam perubahan sikap Lear terhadap Thunder. Ada dua pandangan yang sangat kontras tentang sifat manusia dalam drama itu: pandangan dari pihak Lear (Lear, Gloucester, Albany, Kent), mencontohkan filosofi Bacon dan Hooker, dan dari pihak Edmund (Edmund, Cornwall, Goneril, Regan ), mirip dengan pandangan yang kemudian dirumuskan oleh Hobbes, meskipun yang terakhir belum memulai karir filsafatnya ketika Lear pertama kali dilakukan. Bersama dengan dua pandangan tentang Alam, drama tersebut berisi dua pandangan tentang Alasan, yang dibawakan dalam pidato Gloucester dan Edmund tentang astrologi (1.2). Rasionalitas partai Edmund adalah rasionalitas yang lebih mudah diidentifikasi oleh audiens modern. Tetapi partai Edmund membawa rasionalisme yang berani ke ekstrem sedemikian rupa sehingga menjadi kegilaan: kegilaan-dalam-alasan, padanan ironis dari "alasan dalam kegilaan" Lear (IV.6.190) dan kebijaksanaan-dalam-kebodohan si Bodoh. Pengkhianatan terhadap akal budi ini terletak di balik penekanan drama tersebut pada perasaan.
Apa yang kita ketahui tentang pembacaan Shakespeare yang luas dan kekuatan asimilasi tampaknya menunjukkan bahwa ia memanfaatkan semua jenis materi, menyerap sudut pandang yang kontradiktif, positif dan negatif, religius dan sekuler, seolah-olah untuk memastikan bahwa "King Lear" tidak akan menawarkan apa pun. perspektif pengontrol tunggal, tetapi terbuka untuk, memang menuntut, banyak interpretasi.
R. A. Foakes[18]
Dua Alam dan dua Alasan menyiratkan dua masyarakat. Edmund adalah Manusia Baru, anggota zaman persaingan, kecurigaan, kemuliaan, berbeda dengan masyarakat tua yang telah turun dari Abad Pertengahan, dengan kepercayaannya pada kerja sama, kesopanan yang masuk akal, dan rasa hormat terhadap keseluruhan sebagai lebih besar dari bagian. King Lear dengan demikian adalah sebuah alegori. Masyarakat yang lebih tua, yaitu visi abad pertengahan, dengan raja yang menyayanginya, jatuh ke dalam kesalahan, dan terancam oleh Machiavellianisme baru; itu diregenerasi dan diselamatkan oleh visi tatanan baru, yang diwujudkan dalam putri raja yang ditolak. Cordelia, dalam skema alegoris, ada tiga: seseorang; prinsip etis (cinta); dan sebuah komunitas. Namun demikian, pemahaman Shakespeare tentang Manusia Baru begitu luas hingga hampir mencapai simpati. Edmund adalah ekspresi besar terakhir dalam Shakespeare dari sisi individualisme Renaisans—energi, emansipasi, keberanian—yang telah memberikan kontribusi positif pada warisan Barat. "Dia mewujudkan sesuatu yang vital yang harus ditegaskan kembali oleh sintesis akhir. Tapi dia membuat klaim mutlak yang tidak akan didukung oleh Shakespeare. Adalah benar bagi manusia untuk merasakan, seperti halnya Edmund, bahwa masyarakat ada untuk manusia, bukan manusia untuk masyarakat. hak untuk menegaskan jenis pria yang Edmund akan tegakkan untuk supremasi ini."[19]
Drama tersebut menawarkan alternatif dari polaritas feodal-Machiavellian, alternatif yang diramalkan dalam pidato Prancis (I.1.245–256), dalam doa-doa Lear dan Gloucester (III.4. 28–36; IV.1.61–66), dan dalam sosok Cordelia. Sampai masyarakat yang layak tercapai, kita dimaksudkan untuk mengambil sebagai panutan (meskipun dikualifikasikan oleh ironi Shakespeare) Edgar, "jantan kebaikan",[26] daya tahan, keberanian dan "kematangan".[19]
Drama tersebut juga memuat referensi tentang perselisihan antara Raja James I dan Parlemen. Dalam pemilihan 1604 untuk House of Commons, Sir John Fortescue, Menteri Keuangan, dikalahkan oleh seorang anggota bangsawan Buckinghamshire, Sir Francis Goodwin. Tidak senang dengan hasilnya, James menyatakan hasil pemilihan Buckinghhamshire tidak valid, dan bersumpah di Fortescue sebagai MP untuk Buckinghamshire sementara House of Commons bersikeras bersumpah di Goodwin, yang mengarah ke bentrokan antara Raja dan Parlemen mengenai siapa yang berhak memutuskan. yang duduk di House of Commons.[20] Anggota parlemen Thomas Wentworth, putra anggota parlemen lain Peter Wentworth—sering dipenjarakan di bawah Elizabeth karena mengajukan pertanyaan tentang suksesi di Commons—paling kuat dalam memprotes upaya James untuk mengurangi kekuasaan House of Commons, dengan mengatakan Raja tidak bisa nyatakan saja hasil pemilihan tidak sah jika dia tidak menyukai siapa yang telah memenangkan kursi karena dia bersikeras bahwa dia bisa. Karakter Kent menyerupai Peter Wentworth dalam cara yang tidak bijaksana dan blak-blakan dalam menasihati Lear, tetapi poinnya benar bahwa Lear harus lebih berhati-hati dengan teman dan penasihatnya.[21]
Sama seperti House of Commons telah berpendapat kepada James bahwa kesetiaan mereka adalah pada konstitusi Inggris, bukan kepada Raja secara pribadi, Kent menegaskan bahwa kesetiaannya bersifat institusional, bukan pribadi, karena ia setia pada wilayah yang dipimpin oleh raja, bukan untuk Lear sendiri, dan dia memberitahu Lear untuk berperilaku lebih baik demi kebaikan alam.[21] Sebaliknya, Lear membuat argumen yang mirip dengan James bahwa sebagai raja, ia memegang kekuasaan mutlak dan dapat mengabaikan pandangan rakyatnya jika mereka tidak menyenangkannya kapan pun ia mau.[21] Dalam drama tersebut, karakter seperti Si Bodoh, Kent dan Cordelia, yang loyalitasnya bersifat institusional, melihat kesetiaan pertama mereka pada kerajaan, digambarkan lebih baik daripada mereka seperti Regan dan Goneril, yang bersikeras bahwa mereka hanya setia kepada raja, melihat mereka loyalitas sebagai pribadi.[21] Demikian juga, James terkenal karena gaya hidupnya yang liar dan tidak bermoral dan preferensinya untuk para abdi dalem penjilat yang selamanya menyanyikan pujiannya dengan harapan untuk kemajuan, aspek-aspek istananya yang sangat mirip dengan istana Raja Lear, yang memulai permainannya dengan pengadilan para abdi dalem yang kejam dan bejat.[21] Kent mengkritik Oswald sebagai orang yang tidak layak menjabat yang hanya dipromosikan karena sifat penjilatnya, mengatakan kepada Lear bahwa dia harus setia kepada mereka yang bersedia mengatakan yang sebenarnya, sebuah pernyataan yang banyak orang di Inggris berharap agar James akan mengindahkannya.[21]
Selanjutnya, James VI dari Skotlandia mewarisi takhta Inggris setelah kematian Elizabeth I pada tahun 1603, dengan demikian menyatukan kerajaan-kerajaan di pulau Inggris menjadi satu, dan masalah utama pemerintahannya adalah upaya untuk membentuk identitas Inggris yang sama.[22] James telah memberi putranya Henry dan Charles gelar Adipati Cornwell dan Adipati Albany, gelar yang sama yang disandang oleh pria yang menikah dengan Regan dan Goneril.[23] Drama dimulai dengan Lear memerintah seluruh Inggris dan berakhir dengan dia menghancurkan wilayahnya; kritikus Andrew Hadfield berpendapat bahwa pembagian Inggris oleh Lear adalah kebalikan dari penyatuan Inggris oleh James, yang percaya bahwa kebijakannya akan menghasilkan wilayah bersatu yang diatur dengan baik dan makmur yang diteruskan ke ahli warisnya. Hadfield berpendapat bahwa drama itu dimaksudkan sebagai peringatan bagi James karena dalam drama itu seorang raja kehilangan segalanya dengan menyerah pada para abdi dalem penjilatnya yang hanya berusaha memanfaatkannya sambil mengabaikan orang-orang yang benar-benar mencintainya.[23] Hadfield juga berpendapat bahwa dunia pengadilan Lear adalah "kekanak-kanakan" dengan Lear menampilkan dirinya sebagai bapak bangsa dan mengharuskan semua rakyatnya, bukan hanya anak-anaknya, untuk memanggilnya dalam istilah ayah, yang membuat sebagian besar orang di sekitarnya menjadi kekanak-kanakan. , yang dengan tegas merujuk pada pernyataan James dalam bukunya tahun 1598 The Trew Law of Free Monarchies bahwa raja adalah "bapak bangsa", yang semua rakyatnya adalah anak-anaknya.[24]
King Lear memberikan dasar untuk "pemberlakuan utama kerusakan psikis dalam sejarah sastra Inggris".[25] Drama itu dimulai dengan "narsisme dekat dongeng" Lear.[26]
Mengingat tidak adanya ibu yang sah di King Lear, Coppélia Kahn [27] memberikan interpretasi psikoanalitik dari "subteks keibuan" yang ditemukan dalam drama tersebut. Menurut Kahn, usia tua Lear memaksanya untuk mundur ke disposisi kekanak-kanakan, dan dia sekarang mencari cinta yang secara tradisional dipuaskan oleh seorang wanita ibu, tetapi dengan tidak adanya ibu sejati, anak perempuannya menjadi figur ibu. Kontes cinta Lear antara Goneril, Regan, dan Cordelia berfungsi sebagai perjanjian yang mengikat; putri-putrinya akan mendapatkan warisan mereka asalkan mereka merawatnya, terutama Cordelia, yang akan sangat bergantung padanya "pembibitan yang baik".
Penolakan Cordelia untuk mendedikasikan dirinya untuknya dan mencintainya sebagai lebih dari seorang ayah telah ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai penolakan terhadap inses, tetapi Kahn juga menyisipkan citra seorang ibu yang menolak. Situasi sekarang adalah kebalikan dari peran orang tua-anak, di mana kegilaan Lear adalah kemarahan seperti anak kecil karena kurangnya pengasuhan anak/ibu. Bahkan ketika Lear dan Cordelia ditangkap bersama, kegilaannya tetap ada saat Lear membayangkan sebuah kamar bayi di penjara, di mana satu-satunya keberadaan Cordelia adalah untuknya. Hanya dengan kematian Cordelia, fantasinya tentang seorang putri-ibu akhirnya berkurang, sebagai Raja Lear menyimpulkan dengan hanya karakter laki-laki yang hidup.
Sigmund Freud menegaskan bahwa Cordelia melambangkan Kematian. Oleh karena itu, ketika lakon dimulai dengan Lear menolak putrinya, dapat diartikan sebagai dia menolak kematian; Lear tidak mau menghadapi keterbatasan keberadaannya. Adegan akhir drama yang mengharukan, di mana Lear membawa tubuh Cordelia tercinta, sangat penting bagi Freud. Dalam adegan ini, Cordelia memaksa realisasi keterbatasannya, atau seperti yang Freud katakan, dia menyebabkan dia "berteman dengan kebutuhan akan kematian". Shakespeare memiliki niat khusus dengan kematian Cordelia, dan merupakan satu-satunya penulis yang membunuh Cordelia (dalam versi Nahum Tate, dia terus hidup bahagia, dan di Holinshed, dia memulihkan ayahnya dan menggantikannya).
Atau, sebuah analisis berdasarkan teori Adlerian menunjukkan bahwa persaingan Raja di antara putri-putrinya dalam Babak I lebih berkaitan dengan kendalinya atas Cordelia yang belum menikah.[28] Teori ini menunjukkan bahwa "pencopotan" Raja[38] mungkin telah membawanya untuk mencari kendali yang hilang setelah dia membagi tanahnya.
Dalam studinya tentang penggambaran karakter Edmund, Harold Bloom menyebutnya sebagai "karakter paling orisinal Shakespeare". "Seperti yang ditunjukkan Hazlitt", tulis Bloom, "Edmund tidak ikut dalam kemunafikan Goneril dan Regan: Machiavellianismenya benar-benar murni, dan tidak memiliki motif Oedipal. Visi Freud tentang roman keluarga sama sekali tidak berlaku untuk Edmund. Iago gratis untuk menemukan kembali dirinya setiap menit, namun Iago memiliki hasrat yang kuat, betapapun negatifnya. Edmund tidak memiliki hasrat apa pun; dia tidak pernah mencintai siapa pun, dan dia tidak akan pernah melakukannya. Dalam hal itu, dia adalah karakter paling orisinal Shakespeare."[29]
Tragedi kurangnya pemahaman Lear tentang konsekuensi dari tuntutan dan tindakannya sering terlihat seperti anak manja, tetapi juga dicatat bahwa perilakunya juga mungkin terlihat pada orang tua yang tidak pernah menyesuaikan diri dengan mereka. anak-anak tumbuh dewasa.[30]
Kritik terbagi atas pertanyaan apakah King Lear mewakili penegasan doktrin Kristen tertentu.[31] Mereka yang berpikir itu mengajukan argumen yang berbeda, yang mencakup pentingnya divestasi diri Lear.[32] Untuk beberapa kritikus, ini mencerminkan konsep Kristen tentang kejatuhan yang perkasa dan hilangnya harta duniawi yang tak terhindarkan. Pada tahun 1569, khotbah-khotbah yang disampaikan di istana seperti di Windsor menyatakan bagaimana "orang kaya adalah debu yang kaya, orang bijak adalah debu yang bijaksana... Dari dia yang mengenakan pakaian ungu, dan membawa mahkota hingga dia yang mengenakan pakaian paling buruk, ada tidak ada apa-apa selain garboil, dan mengacak-acak, dan mengangkat, dan murka yang berlarut-larut, dan ketakutan akan kematian dan kematian itu sendiri, dan kelaparan, dan banyak cambuk Tuhan."[32] Beberapa orang melihat ini di Cordelia dan apa yang dilambangkannya—bahwa tubuh material hanyalah sekam yang pada akhirnya akan dibuang agar bisa diambil buahnya.[31]
Di antara mereka yang berpendapat bahwa Lear ditebus dalam pengertian Kristen melalui penderitaan adalah A.C. Bradley [33] dan John Reibetanz, yang telah menulis: "melalui penderitaannya, Lear telah memenangkan jiwa yang tercerahkan".[34] Kritikus lain yang tidak menemukan bukti penebusan dan menekankan kengerian dari babak terakhir termasuk John Holloway[35] dan Marvin Rosenberg.[36] William R. Elton menekankan pengaturan pra-Kristen dari drama tersebut. , menulis bahwa, "Lear memenuhi kriteria untuk perilaku pagan dalam hidup," jatuh "ke dalam penghujatan total pada saat kehilangan yang tak dapat ditebus".[37] Hal ini terkait dengan cara beberapa sumber menyebutkan bahwa di akhir narasi, Raja Lear mengamuk di surga sebelum akhirnya mati dalam keputusasaan dengan kematian Cordelia.[38]
Harold Bloom berpendapat bahwa King Lear melampaui sistem moralitas sepenuhnya, dan dengan demikian merupakan salah satu kemenangan utama drama tersebut. Bloom menulis bahwa dalam drama itu ada, "... tidak ada teologi, tidak ada metafisika, tidak ada etika."
King Lear telah dilakukan oleh aktor terhormat sejak abad ke-17, ketika laki-laki memainkan semua peran. Sejak abad ke-20, sejumlah perempuan telah memainkan peran laki-laki dalam drama tersebut; paling sering the Fool, yang telah dimainkan (antara lain) oleh Judy Davis, Emma Thompson dan Robyn Nevin. Lear sendiri telah dimainkan oleh Marianne Hoppe pada tahun 1990,[39] oleh Janet Wright pada tahun 1995,[40] oleh Kathryn Hunter pada tahun 1996–97,[41] dan oleh Glenda Jackson pada tahun 2016 dan 2019.[42]
Shakespeare menulis peran Lear untuk kepala tragedi perusahaannya, Richard Burbage, untuk siapa Shakespeare menulis karakter yang semakin tua seiring dengan kemajuan karir mereka. Ada spekulasi bahwa peran si Bodoh ditulis untuk badut perusahaan Robert Armin, atau ditulis untuk pertunjukan oleh salah satu anak perusahaan, menggandakan peran Cordelia.[43][44] Hanya satu pertunjukan khusus dari drama tersebut selama masa hidup Shakespeare yang diketahui: di depan istana Raja James I di Whitehall pada 26 Desember 1606.[45][46] Pertunjukan aslinya adalah di The Globe, di mana tidak ada set dalam pengertian modern, dan karakter akan menandakan peran mereka secara visual dengan alat peraga dan kostum: Kostum Lear, misalnya, akan berubah selama permainan sebagai miliknya. status berkurang: dimulai dengan mahkota dan tanda kebesaran; kemudian sebagai pemburu; mengamuk tanpa penutup kepala dalam adegan badai; dan akhirnya dimahkotai dengan bunga sebagai parodi dari status aslinya.[47]
Semua teater ditutup oleh pemerintah Puritan pada 6 September 1642. Setelah pemulihan monarki pada 1660, dua perusahaan paten (Perusahaan Raja dan Perusahaan Adipati) didirikan, dan repertoar teater yang ada dibagi di antara mereka.[48] Dan dari pemugaran hingga pertengahan abad ke-19, sejarah pertunjukan King Lear bukanlah kisah versi Shakespeare, melainkan The History of King Lear, sebuah adaptasi populer oleh Nahum Tate. Penyimpangan yang paling signifikan dari Shakespeare adalah untuk menghilangkan Fool sepenuhnya, untuk memperkenalkan akhir yang bahagia di mana Lear dan Cordelia bertahan, dan untuk mengembangkan kisah cinta antara Cordelia dan Edgar (dua karakter yang tidak pernah berinteraksi di Shakespeare) yang berakhir dengan pernikahan mereka.[49] Seperti kebanyakan adaptor Restorasi Shakespeare, Tate mengagumi kejeniusan alami Shakespeare tetapi merasa cocok untuk meningkatkan karyanya dengan standar seni kontemporer (yang sebagian besar dipandu oleh kesatuan waktu, tempat, dan tindakan neoklasik).[50] Perjuangan Tate untuk mencapai keseimbangan antara alam mentah dan seni halus terlihat dalam deskripsinya tentang tragedi itu: "setumpuk permata, tidak diikat dan tidak dipoles; namun begitu mempesona dalam ketidakteraturannya, sehingga saya segera menyadari bahwa saya telah merebutnya." d a harta."[51][52] Perubahan lainnya termasuk memberikan Cordelia orang kepercayaan bernama Arante, membawa drama itu lebih dekat ke gagasan kontemporer tentang keadilan puitis, dan menambahkan materi yang menggoda seperti pertemuan asmara antara Edmund dan Regan dan Goneril, sebuah adegan di mana Edgar menyelamatkan Cordelia dari percobaan penculikan dan pemerkosaan Edmund,[53][54] dan adegan di mana Cordelia memakai celana pria yang akan memperlihatkan pergelangan kaki aktris itu.[55] Drama itu berakhir dengan perayaan "Restorasi yang Diberkati Raja", referensi yang jelas untuk Charles II.[b]
Pada awal abad ke-18, beberapa penulis mulai menyatakan keberatan terhadap adaptasi Restorasi Shakespeare ini (dan lainnya). Misalnya, dalam The Spectator pada 16 April 1711 Joseph Addison menulis "King Lear adalah Tragedi yang mengagumkan ... Kecantikan." Namun di atas panggung, versi Tate menang.[c]
David Garrick adalah aktor-manajer pertama yang mulai mengurangi elemen adaptasi Tate yang mendukung karya asli Shakespeare: ia mempertahankan perubahan besar Tate, termasuk akhir yang bahagia, tetapi menghapus banyak dialog Tate, termasuk pidato penutup Edgar. Dia juga mengurangi keunggulan kisah cinta Edgar-Cordelia, untuk lebih fokus pada hubungan antara Lear dan putrinya.[56] Versinya memiliki dampak emosional yang kuat: Lear didorong ke kegilaan oleh putrinya adalah (dalam kata-kata salah satu penonton, Arthur Murphy) "kesusahan tragis terbaik yang pernah terlihat di panggung mana pun" dan, sebaliknya, pengabdian yang ditunjukkan kepada Lear oleh Cordelia (campuran kontribusi Shakespeare, Tate dan Garrick untuk bagian tersebut) membuat penonton menangis.[d]
Pertunjukan profesional pertama King Lear di Amerika Utara kemungkinan adalah pertunjukan Hallam Company (kemudian Perusahaan Amerika) yang tiba di Virginia pada tahun 1752 dan yang menghitung permainan di antara repertoar mereka pada saat keberangkatan mereka ke Jamaika pada tahun 1774 [57]
Charles Lamb menetapkan sikap kaum Romantis terhadap Raja Lear dalam esainya tahun 1811 "On the Tragedies of Shakespeare, dianggap dengan mengacu pada kesesuaian mereka untuk representasi panggung" di mana dia mengatakan bahwa drama itu "pada dasarnya tidak mungkin untuk diwakili di atas panggung", lebih memilih mengalaminya dalam pembelajaran. Di teater, dia berpendapat, "melihat Lear berakting, melihat seorang lelaki tua terhuyung-huyung di panggung dengan tongkat, diusir dari pintu oleh putrinya pada malam hujan, tidak ada apa-apanya selain apa yang menyakitkan dan menjijikkan. " namun "sementara kita membacanya, kita tidak melihat Lear tetapi kita adalah Lear,—kita berada dalam pikirannya, kita ditopang oleh keagungan yang membingungkan kedengkian anak perempuan dan badai."[58][58]
King Lear secara politis kontroversial selama periode kegilaan George III, dan akibatnya tidak dilakukan sama sekali di dua teater profesional London dari tahun 1811 hingga 1820: tetapi kemudian menjadi subjek produksi besar di keduanya, dalam waktu tiga bulan setelahnya. kematian.[59] Abad ke-19 menyaksikan pengenalan kembali teks Shakespeare secara bertahap untuk menggantikan versi Tate. Seperti Garrick sebelumnya, John Philip Kemble telah memperkenalkan lebih banyak teks Shakespeare, sambil tetap mempertahankan tiga elemen utama versi Tate: kisah cinta, penghilangan si Bodoh, dan akhir yang bahagia. Edmund Kean memainkan King Lear dengan akhir yang tragis pada tahun 1823, tetapi gagal dan kembali ke penonton Tate setelah hanya tiga pertunjukan. Akhirnya pada tahun 1838, William Macready di Covent Garden menampilkan versi Shakespeare, dibebaskan dari adaptasi Tate.[60] Karakter si Bodoh yang dipulihkan dimainkan oleh seorang aktris, Priscilla Horton, seperti, dalam kata-kata seorang penonton, "seorang anak laki-laki yang rapuh, sibuk, berwajah cantik, setengah idiot."[61] Dan penampilan terakhir Helen Faucit sebagai Cordelia, mati di pelukan ayahnya, menjadi salah satu gambar Victoria yang paling ikonik.[62] John Forster, menulis di Examiner pada 14 Februari 1838, mengungkapkan harapan bahwa "Keberhasilan Mr Macready telah menyingkirkan aib [versi Tate] dari panggung untuk selama-lamanya."[63] Tetapi bahkan versi ini tidak mendekati versi Shakespeare: yang ke-19 -Aktor-manajer abad sangat memotong naskah Shakespeare: mengakhiri adegan pada "efek tirai" besar dan mengurangi atau menghilangkan peran pendukung untuk memberikan keunggulan yang lebih besar kepada sang bintang.[80] Salah satu inovasi Macready—penggunaan struktur mirip Stonehenge di atas panggung untuk menunjukkan latar kuno—terbukti bertahan lama di atas panggung hingga abad ke-20, dan dapat dilihat dalam versi televisi 1983 yang dibintangi oleh Laurence Olivier.[64]
Pada tahun 1843, Undang-Undang untuk Mengatur Teater mulai berlaku, mengakhiri monopoli dua perusahaan yang ada dan, dengan demikian, meningkatkan jumlah teater di London. Pada saat yang sama, mode dalam teater adalah "bergambar": menghargai tontonan visual di atas plot atau karakterisasi dan seringkali membutuhkan perubahan adegan yang panjang (dan memakan waktu). Misalnya, King Lear tahun 1892 karya Henry Irving menawarkan tontonan seperti kematian Lear di bawah tebing di Dover, wajahnya diterangi cahaya merah matahari terbenam; dengan mengorbankan 46% teks, termasuk pembutaan Gloucester. Tapi produksi Irving jelas membangkitkan emosi yang kuat: seorang penonton, Gordon Crosse, menulis tentang pintu masuk pertama Lear, "sosok mencolok dengan banyak rambut putih. Dia bersandar pada pedang bersarung besar yang dia angkat dengan teriakan liar sebagai jawaban atas sapaan para pengawalnya yang diteriakkan. Gaya berjalannya, penampilannya, gerak tubuhnya, semuanya mengungkapkan pikiran mulia dan angkuh yang sudah merosot menjadi pikun, mudah tersinggung di bawah guncangan kesedihan dan usia yang akan datang."
Pentingnya piktorialisme bagi Irving, dan bagi para profesional teater lainnya di era Victoria, dicontohkan oleh fakta bahwa Irving telah menggunakan lukisan Ford Madox Brown, Cordelia's Portion sebagai inspirasi untuk tampilan produksinya, dan bahwa sang seniman sendiri dilibatkan. untuk menyediakan sketsa untuk pengaturan adegan lain. Sebuah reaksi terhadap piktorialisme datang dengan munculnya gerakan rekonstruktif, percaya pada gaya sederhana pementasan lebih mirip dengan yang akan tergolong dalam teater renaisans, yang eksponen awal kepala adalah aktor-manajer William Poel. Poel dipengaruhi oleh pertunjukan King Lear yang disutradarai oleh Jocza Savits di Hoftheater di Munich pada tahun 1890, di atas panggung celemek dengan tiga tingkat teater rekonstruksi seperti Globe sebagai latar belakangnya. Poel akan menggunakan konfigurasi yang sama untuk pertunjukan Shakespearenya sendiri pada tahun 1893.
Pada pertengahan abad, tradisi aktor-manajer telah menurun, digantikan oleh struktur di mana perusahaan teater besar mempekerjakan sutradara profesional sebagai auteurs. Aktor-manajer hebat terakhir, Donald Wolfit, memerankan Lear pada tahun 1944 di lokasi yang mirip Stonehenge dan dipuji oleh James Agate sebagai "bagian terbesar dari akting Shakespeare sejak saya mendapat hak istimewa untuk menulis untuk Sunday Times". Wolfit diduga meminum delapan botol Guinness dalam setiap pertunjukannya.[f]
Karakter Lear di abad ke-19 sering kali seperti orang tua yang lemah dari adegan pembuka, tetapi Lears dari abad ke-20 sering memulai permainan sebagai orang kuat yang menunjukkan otoritas agung, termasuk John Gielgud, Donald Wolfit dan Donald Sinden. Cordelia, juga, berkembang pada abad ke-20: Cordelia sebelumnya sering dipuji karena manis, polos dan sederhana, tetapi Cordelia abad ke-20 sering digambarkan sebagai pemimpin perang. Misalnya, Peggy Ashcroft, di RST pada tahun 1950, memainkan peran dalam pelindung dada dan membawa pedang. Demikian pula, Orang bodoh berkembang sepanjang abad ini, dengan penggambaran yang sering kali berasal dari aula musik atau tradisi sirkus.
Di Stratford-upon-Avon pada tahun 1962 Peter Brook (yang kemudian memfilmkan drama tersebut dengan aktor yang sama, Paul Scofield, dalam peran Lear) mengatur aksinya secara sederhana, di atas panggung putih yang besar dan kosong. Efek dari adegan ketika Lear dan Gloucester bertemu, dua sosok kecil compang-camping di tengah-tengah kekosongan ini, dikatakan (oleh sarjana Roger Warren) untuk menangkap "baik kesedihan manusia ... dan skala universal ... adegan." Beberapa baris dari siaran radio digunakan oleh The Beatles untuk ditambahkan ke dalam rekaman campuran lagu "I Am the Walrus". John Lennon kebetulan bermain di Program Ketiga BBC saat mengutak-atik radio saat mengerjakan lagu. Suara aktor Mark Dignam, Philip Guard, dan John Bryning dari drama tersebut terdengar dalam lagu tersebut.
Seperti tragedi Shakespeare lainnya, King Lear telah terbukti menerima konversi ke dalam tradisi teater lainnya. Pada tahun 1989, David McRuvie dan Iyyamkode Sreedharan mengadaptasi drama tersebut kemudian menerjemahkannya ke Malayalam, untuk pertunjukan di Kerala dalam tradisi Kathakali—yang berkembang sekitar tahun 1600, sezaman dengan tulisan Shakespeare. Pertunjukan tersebut kemudian melanjutkan tur, dan pada tahun 2000 diputar di Shakespeare's Globe, menyelesaikan, menurut Anthony Dawson, "semacam lingkaran simbolis". Mungkin yang lebih radikal adalah adaptasi Ong Keng Sen 1997 dari King Lear, yang menampilkan enam aktor masing-masing tampil dalam tradisi akting Asia yang terpisah dan dalam bahasa mereka sendiri yang terpisah. Momen penting terjadi ketika pemain Jingju yang memerankan Putri yang Lebih Tua (gabungan dari Goneril dan Regan) menikam Lear yang dimainkan Noh yang "jatuh pinus" deadfall, langsung menghadap ke depan ke atas panggung, mengejutkan penonton, dalam apa yang dijelaskan Yong Li Lan sebagai "kemenangan melalui kekuatan bergerak dari kinerja noh pada saat kekalahan karakternya".
Pada tahun 1974, Buzz Goodbody menyutradarai Lear, judul yang sengaja disingkat untuk teks Shakespeare, sebagai produksi perdana teater studio RSC The Other Place. Pertunjukan tersebut disusun sebagai bagian kamar, ruang intim kecil dan kedekatan dengan penonton memungkinkan akting psikologis yang terperinci, yang dilakukan dengan set sederhana dan dalam pakaian modern. Peter Holland berspekulasi bahwa keputusan perusahaan/direktur ini—yaitu memilih untuk menghadirkan Shakespeare di tempat kecil karena alasan artistik ketika tempat yang lebih besar tersedia—mungkin pada saat itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Visi Brook sebelumnya tentang drama tersebut terbukti berpengaruh, dan sutradara telah melangkah lebih jauh dalam menghadirkan Lear sebagai (dalam kata-kata R.A. Foakes) "seorang warga senior yang menyedihkan yang terperangkap dalam lingkungan yang penuh kekerasan dan permusuhan". Ketika John Wood mengambil peran pada tahun 1990, ia memainkan adegan selanjutnya dengan pakaian yang terlihat seperti pakaian yang dibuang, mengundang kesejajaran yang disengaja dengan yang tidak diperhatikan dalam masyarakat Barat modern. Memang, produksi modern dari drama Shakespeare sering kali mencerminkan dunia di mana mereka dipentaskan seperti halnya dunia di mana mereka ditulis: dan adegan teater Moskow pada tahun 1994 memberikan contoh, ketika dua produksi drama yang sangat berbeda (yang oleh Sergei Zhonovach dan Alexei Borodin), sangat berbeda satu sama lain dalam gaya dan pandangan mereka, keduanya mencerminkan pecahnya Uni Soviet.
Pada tahun 2002 dan 2010, Perusahaan Hudson Shakespeare di New Jersey mengadakan produksi terpisah sebagai bagian dari masing-masing Shakespeare di musim Taman. Versi 2002 disutradarai oleh Michael Collins dan mengubah aksinya ke pengaturan bahari Hindia Barat. Aktor ditampilkan dalam pakaian yang menunjukkan penampilan berbagai pulau Karibia. Produksi tahun 2010 yang disutradarai oleh Jon Ciccarelli dibuat setelah suasana film The Dark Knight dengan palet merah dan hitam dan mengatur aksi dalam pengaturan perkotaan. Lear (Tom Cox) muncul sebagai kepala konglomerat multi-nasional yang membagi kekayaannya di antara putri sosialitanya Goneril (Brenda Scott), putri tengahnya Regan (Noelle Fair) dan putri universitas Cordelia (Emily Best).
Pada tahun 2012, sutradara terkenal Kanada Peter Hinton mengarahkan produksi King Lear dari Bangsa Pertama di Pusat Seni Nasional di Ottawa, Ontario, dengan latar diubah menjadi negara Algonquin pada abad ke-17. Pemeran termasuk August Schellenberg sebagai Lear, Billy Merasty sebagai Gloucester, Tantoo Cardinal sebagai Regan, Kevin Loring sebagai Edmund, Jani Lauzon dalam peran ganda sebagai Cordelia and the Fool, dan Craig Lauzon sebagai Kent. Setting ini nantinya akan direproduksi sebagai bagian dari seri novel grafis Manga Shakespeare yang diterbitkan oleh Self-Made Hero, diadaptasi oleh Richard Appignanesi dan menampilkan ilustrasi Ilya.
Pada 2015 Teater Passe Muraille Toronto menggelar set produksi di Kanada Atas dengan latar belakang Pemberontakan Kanada Atas tahun 1837. Produksi ini dibintangi oleh David Fox sebagai Lear. Pada musim panas 2015–2016, The Sydney Theatre Company menggelar King Lear, disutradarai oleh Neil Armfield dengan Geoffrey Rush sebagai pemeran utama dan Robyn Nevin sebagai the Fool. Tentang kegilaan di jantung permainan, Rush mengatakan bahwa baginya "ini tentang menemukan dampak dramatis pada saat-saat manianya. Apa yang tampaknya paling berhasil adalah menemukan kerentanan atau titik empati, di mana penonton dapat melihat Pelajari dan pikirkan betapa mengejutkannya menjadi setua itu dan dibuang dari keluarga Anda ke udara terbuka dalam badai. Itu adalah tingkat pemiskinan yang tidak akan pernah Anda ingin lihat pada manusia lain, selamanya."
Pada tahun 2016 Talawa Theatre Company dan Royal Exchange Manchester ikut memproduksi produksi King Lear dengan Don Warrington dalam peran judul. Produksi, yang menampilkan sebagian besar pemeran hitam, digambarkan di The Guardian sebagai "sedekat mungkin dengan definitif". The Daily Telegraph menulis bahwa "King Lear karya Don Warrington adalah tour de force yang memilukan". King Lear dipentaskan oleh Royal Shakespeare Company, dengan Antony Sher sebagai pemeran utama. Pertunjukan tersebut disutradarai oleh Gregory Doran dan digambarkan memiliki "kekuatan dan kedalaman".
Pada tahun 2017, Teater Guthrie menghasilkan produksi King Lear dengan Stephen Yoakam dalam peran utama. Armin Shimerman tampil sebagai orang bodoh, menggambarkannya dengan "kesuraman yang tidak biasa, tetapi berhasil", dalam produksi yang dipuji sebagai "teater yang menghancurkan, dan produksi yang adil."
Lear dimainkan di Broadway oleh Christopher Plummer pada 2004 dan Glenda Jackson pada 2019, dengan Jackson mengulangi perannya dari produksi 2016 di The Old Vic di London.
Film pertama King Lear adalah versi Jerman berdurasi lima menit yang dibuat sekitar tahun 1905, yang tidak bertahan lama. Versi tertua yang masih ada adalah versi studio sepuluh menit dari tahun 1909 oleh Vitagraph, yang menurut Luke McKernan, membuat keputusan "tidak bijaksana" untuk mencoba menjejalkan sebanyak mungkin plot. Dua versi bisu, keduanya berjudul Re Lear, dibuat di Italia pada tahun 1910. Dari jumlah tersebut, versi oleh sutradara Gerolamo Lo Savio difilmkan di lokasi, dan itu menghapus sub-plot Edgar dan sering menggunakan intertitling untuk membuat plot lebih mudah diikuti. daripada pendahulunya Vitagraph. Pengaturan kontemporer digunakan untuk adaptasi Prancis tahun 1911 oleh Louis Feuillade, Le Roi Lear Au Village, dan pada tahun 1914 di Amerika, Ernest Warde memperluas cerita menjadi satu jam, termasuk tontonan seperti adegan pertempuran terakhir.
The Joseph Mankiewicz (1949) House of Strangers sering dianggap sebagai adaptasi Lear, tetapi paralelnya lebih mencolok dalam Broken Lance (1954) di mana seorang baron ternak yang diperankan oleh Spencer Tracy menindas ketiga putranya, dan hanya yang bungsu, Joe, yang bermain oleh Robert Wagner, tetap setia.
Serial antologi TV Omnibus (1952–1961) menampilkan King Lear versi 73 menit pada 18 Oktober 1953. Serial tersebut diadaptasi oleh Peter Brook dan dibintangi Orson Welles dalam debut televisi Amerika-nya.
dua versi layar King Lear berasal dari awal 1970-an: Korol Lir karya Grigori Kozintsev,[h] dan film King Lear karya Peter Brook, yang dibintangi oleh Paul Scofield. Film Brook secara gamblang membagi kritik: Pauline Kael berkata, "Saya tidak hanya tidak menyukai produksi ini, saya juga membencinya!" dan menyarankan judul alternatif Night of the Living Dead.[i] Namun Robert Hatch di The Nation menganggapnya sebagai "film drama yang sangat bagus seperti yang bisa diharapkan" dan Vincent Canby di The New York Times menyebutnya "Lear yang agung, penuh teror yang luar biasa". Film ini mengambil ide dari Jan Kott, khususnya pengamatannya bahwa King Lear adalah pelopor teater absurd, dan bahwa film ini memiliki kesamaan dengan Beckett's Endgame. Kritikus yang tidak menyukai film ini secara khusus menarik perhatian pada sifat suramnya dari pembukaannya: mengeluh bahwa dunia drama tidak memburuk dengan penderitaan Lear, tetapi mulai gelap, tidak berwarna dan dingin, pergi, menurut Douglas Brode, "Lear, tanah , dan kami tidak punya tempat untuk pergi". Kekejaman melingkupi film, yang tidak membedakan antara kekerasan karakter baik dan jahat, menampilkan keduanya secara kejam. Paul Scofield, sebagai Lear, menghindari sentimentalitas: Pria tua yang menuntut ini dengan sekelompok ksatria yang nakal memancing simpati penonton untuk anak perempuan di adegan awal, dan presentasinya secara eksplisit menolak tradisi memainkan Lear sebagai "patriark berambut putih tua yang malang".
|title=
(bantuan)
|title=
(bantuan)