Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (bahasa Inggris: international humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya.[1] HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya warga sipil.
HHI bersifat wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nürnberg. Dalam pengertian yang lebih luas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak permisif (hak terbuka) serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional disebut sebagai kejahatan perang.
Dalam hukum kemanusiaan internasional, terdapat pemisahan antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pemisahan ini telah banyak dikritik.[2]
Hukum Humaniter Internasional modern terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter.[3] Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai perang dan konflik, terutama Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Konvensi Jenewa, yang untuk pertama kalinya dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional mengenai praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik bersenjata.[4]
Hukum Den Haag atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai.”[5] Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah perihal sasaran militer.[6]
Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan –yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter modern– mengikuti prinsip tersebut.”[7]
Pembantaian penduduk sipil di tengah berlangsungnya konflik bersenjata merupakan hal yang mempunyai sejarah yang panjang dan gelap. Sejumlah contoh dapat dikemukakan, antara lain: pembantaian kaum Kalinga oleh Ashoka di India; pembantaian sekitar 100.000 orang Hindu oleh pasukan Muslim Tamerlane; atau pembantaian kaum Yahudi dan Muslim oleh Tentara Salib dalam Pengepungan Yerusalem (1099). Ini hanyalah beberapa contoh yang dapat diambil dari daftar panjang dalam sejarah. Fritz Munch merangkum praktik militer dalam sejarah hingga tahun 1800 dengan kalimat singkat sebagai berikut: “Hal-hal yang esensial tampaknya adalah sebagai berikut: dalam pertempuran dan di kota-kota yang berhasil direbut dengan kekuatan, maka kombatan dan non-kombatan dibunuh dan harta benda dihancurkan atau dijarah.[8] Pada abad ke-17, Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda, menulis, “Tak dapat disangkal bahwa perang, demi mencapai tujuannya, pasti menggunakan kekuatan dan teror sebagai cara paling utama.”[9]
Namun pun di tengah berlangsungnya kekejaman perang dalam sejarah, ada sejumlah ungkapan berupa norma kemanusiaan untuk melindungi korban konflik bersenjata –yaitu korban luka, korban sakit, dan korban karam– yang berasal dari zaman kuno.[10]
Dalam Perjanjian Lama, Raja Israel melarang pembantaian tawanan setelah dinasihati oleh nabi Elisa agar tawanan musuh diselamatkan. Dalam jawabannya atas pertanyaan Raja, Elisa berkata, “Engkau tidak boleh membunuh mereka. Apakah orang-orang yang telah engkau tangkap dengan pedang dan panahmu itu harus engkau bunuh? Beri mereka roti dan air, supaya mereka bisa makan dan minum dan pergi menemui tuan mereka.”[11]
Di India zaman kuno, terdapat sejumlah catatan, misalnya Hukum Manu yang menguraikan jenis-jenis senjata yang tidak boleh dipakai. “Bila orang berperang dengan musuh dalam pertempuran, dia tidak boleh menyerang dengan senjata yang tersembunyi (dalam pepohonan), ataupun dengan senjata yang berduri atau beracun atau yang ujung-ujungnya menyala dengan api.[12] Ada juga perintah agar tidak menyerang orang kasim ataupun musuh “yang kedua tangannya berada dalam posisi memohon ... atau orang yang sedang tidur, atau orang yang sudah kehilangan pakaian pelindungnya, atau orang yang telanjang, atau orang yang tidak bersenjata, atau orang yang menonton tanpa ambil bagian dalam peperangan ...”[13]
Hukum Islam menyatakan bahwa “non-kombatan yang tidak ambil bagian dalam pertempuran seperti perempuan, anak-anak, rahib dan pertapa, orang lanjut usia, orang buta, dan orang gila” tidak boleh dilecehkan.[14] Khalifah yang pertama, Abu Bakar, menyatakan, “Jangan memutilasi (mengudungi; memotong anggota badan). Jangan membunuh anak kecil atau laki-laki tua atau perempuan. Jangan memotong kepala pohon palma atau membakarnya. Jangan menebang pohon buah-buahan. Jangan membantai ternak kecuali untuk makanan.”[15] Ahli hukum Islam berpendapat bahwa tawanan tidak boleh dibunuh karena dia “tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan perang belaka.”[16] Hukum Islam tidak menyelamatkan semua non-kombatan. Dalam kasus tawanan yang menolak untuk memeluk Islam atau membayar pajak alternatif, “pada prinsipnya diperbolehkan membunuh siapapun dari mereka, baik kombatan ataupun non-kombatan, asalkan mereka tidak dibunuh melalui cara-cara khianat atau melalui mutilasi (pengudungan).” [17]
Namun baru pada paruh kedua abad ke-19 sebuah pendekatan yang lebih sistematis mulai dilakukan. Di Amerika Serikat, seorang imigran Jerman bernama Francis Lieber pada tahun 1863 menyusun sebuah kode perilaku bagi pasukan Utara, yang di kemudian hari dinamai Kode Lieber (''Lieber Code'') untuk menghormatinya. Kode Lieber antara lain mengharuskan perlakuan manusiawi bagi penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang eksekusi tawanan perang. Pada saat yang bersamaan, keterlibatan sejumlah individu seperti Florence Nightingale selama berlangsungya Perang Krimea dan Henry Dunant, seorang pengusaha Jenewa yang menolong prajurit terluka dalam Pertempuran Solferino, membuat usaha-usaha mencegah penderitaan korban perang menjadi semakin sistematis. Dunant menulis buku yang dia beri judul Kenangan Solferino, yang melukiskan berbagai kengerian perang yang telah dia saksikan itu. Tulisan Dunant dalam buku ini menimbulkan keguncangan banyak pihak sehingga akhirnya dibentuklah Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863 dan pada tahun berikutnya, 1864, diselenggarakanlah konferensi di Jenewa yang menyusun Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di Darat.[18]
Hukum Jenewa terinspirasi langsung oleh prinsip kemanusiaan. Hukum ini berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut serta dalam konflik maupun personel militer yang hors de combat. Hukum tersebut menjadi landasan hukum bagi kegiatan perlindungan dan bantuan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh organisasi kemanusiaan yang tidak memihak seperti ICRC.[19] Fokus pada perlindungan dan bantuan kemanusiaan ini dapat diketemukan dalam Konvensi-konvensi Jenewa.
Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907 dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
Selain itu, ada tiga protokol amendemen tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa:
Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata internasional.[20]
Dengan diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa (1977 Additional Protocols to the Geneva Conventions), kedua aliran hukum tersebut mulai bertemu, meskipun ketentuan-ketentuan yang berfokus pada kemanusiaan sudah terdapat dalam Hukum Den Haag (yaitu perlindungan tawanan perang dan orang sipil tertentu di wilayah pendudukan). Namun, Protokol-protokol Tambahan 1977 mengenai perlindungan korban dalam konflik bersenjata internasional maupun internal bukan hanya memasukkan ke dalamnya aspek-aspek dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, tetapi juga memasukkan ketentuan-ketentuan HAM yang penting.[21]
Contoh yang terkenal tentang aturan semacam itu antara lain adalah larangan menyerang dokter atau ambulans yang mengenakan lambang Palang Merah. Merupakan larangan pula menembak orang atau kendaraan yang mengenakan bendera putih karena bendera tersebut, yang dianggap sebagai bendera gencatan senjata, menyatakan niat untuk menyerah atau keinginan untuk berkomunikasi. Dalam kasus yang pertama ataupun yang kedua, orang yang dilindungi oleh Palang Merah atau bendera putih diharapkan menjaga netralitas, dan mereka sendiri tidak boleh melakukan tindakan-tindakan mirip perang (warlike acts). Justru, melakukan kegiatan perang dengan bendera putih atau lambang palang merah itu sendiri merupakan pelanggaran atas Hukum Perang.
Contoh-contoh lain dari Hukum Perang berkenaan dengan: deklarasi perang (Pasal 2 Piagam PBB 1945 dan sejumlah pasal lain dalam piagam tersebut membatasi hak negara anggota untuk mendeklarasikan perang, seperti halnya Pakta Kellogg-Briand 1928 yang lebih tua dan tidak punya gigi itu membatasi hak tersebut bagi negara-negara yang meratifikasinya, yang kemudian menggunakan pakta tersebut terhadap Jerman dalam Persidangan Mahkamah Perang Nuremberg; penerimaan atas menyerah (surrender) dan perlakuan atas tawanan perang (prisoners of war); penghindaran kekejaman; larangan menyerang orang sipil dengan sengaja; dan larangan atas senjata-senjata tertentu yang tidak manusiawi. Merupakan pelanggaran atas Hukum Perang jika melakukan pertempuran tanpa memenuhi persyaratan tertentu, antara lain mengenakan seragam pembeda atau lencana lain yang mudah dikenali dan membawa senjata secara terang-terangan. Menyamar sebagai prajurit pihak musuh dengan cara mengenakan seragam musuh, dan bertempur memakai seragam tersebut, adalah dilarang, dan demikian pula penyanderaan.
ICRC (singkatan dari International Committee of the Red Cross) merupakan sebuah organisasi independen serta netral yang didirikan tahun 1863. Organisasi ini menjadi satu-satunya institusi yang secara eksplisit disebut dalam Hukum Humaniter Internasional sebagai otoritas kontrol (controlling authority). Mandat hukum ICRC berasal dari keempat Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan, dan Anggaran Dasarnya[23].
Misi ICRC
ICRC menjadi organisasi yang tidak memihak atau netral, dan mandiri dengan misi utama kemanusiaan, yaitu untuk melindungi kehidupan serta martabat para korban perang maupun korban kekerasan internal dan memberi mereka bantuan. ICRC juga mempromosikan serta memperkuat HHI dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal sebagai salah satu upaya mencegah penderitaan bagi mereka yang terkena dampaknya[24].
Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan (reprisal). Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten” (Konvensi Jenewa III Pasal 5). Pada saat itu, prajurit yang bersangkutan menjadi kombatan yang tidak sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara manusiawi dan, bilamana kasusnya adalah kasus pengadilan, haknya atas pengadilan yang adil dan reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang bersangkutan masih dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.
Spion (mata-mata) dan teroris dilindungi oleh Hukum Perang hanya jika negara yang menahan mereka berada dalam keadaan konflik bersenjata atau perang dan sampai mereka didapati sebagai kombatan yang tidak sah. Tergantung pada keadaan yang ada, mereka bisa dihadapkan pada pengadilan sipil atau mahkamah militer atas perbuatan mereka dan, pada praktiknya, mereka telah dikenai penyiksaan dan/atau eksekusi. Hukum Perang tidak menyetujui dan tidak pula mengutuk perbuatan spion atau teroris karena perbuatan semacam itu berada di luar lingkup Hukum Perang. Negara yang telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UN Convention Against Torture) mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan penyiksaan terhadap siapapun dengan alasan apapun.
Setelah konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran apapun atas Hukum Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai pertanggungjawaban individual atas kejahatan perang melalui proses hukum.