Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Harun Tohir bin Mahdar | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | Bawean, Gresik, Jawa Timur, Indonesia | 14 April 1947
Meninggal | 17 Oktober 1968 Penjara Changi, Singapura[1][2] | (umur 21)
Makam | TMP Kalibata, Jakarta |
Penghargaan sipil | Bintang Sakti, Pahlawan Nasional Indonesia |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Laut |
Masa dinas | 1962–1968 |
Pangkat | Kopral Dua KKO (Anumerta) |
Satuan | KKO (Taifib) |
• L • B |
Kopral Dua KKO (Anumerta) Harun Tohir bin Mandar (14 April 1947 – 17 Oktober 1968) adalah salah satu dari dua anggota KKO Korps Komando; kini disebut Korps Marinir) Indonesia yang ditangkap di Singapura pada saat terjadinya Konfrontasi dengan Malaysia.[3] Bersama dengan seorang anggota KKO lainnya bernama Usman, ia dihukum gantung oleh pemerintah Singapura pada Oktober 1968 dengan tuduhan meletakkan bom di wilayah pusat kota Singapura yang padat pada 10 Maret 1965.
Harun bin Said atau Harun Tohir bin Mandar terlahir dengan nama Tohir. Ia merupakan anak dari pasangan Mandar dan Aswiyani dan memiliki empat saudara.[4] Ia berasal dari keluarga yang sederhana, semejak duduk di bangku sekolah pertama, ia sudah menjadi anak buah kapal dagang Singapura. Kesehariannya berada di Pelabuhan membuatnya sangat hafal daratan dan jalur pelayaran Singapura.[5] Berbekal pengalaman ini, menginjak dewasa ia masuk Angkatan Laut Indonesia.[6] Di Angkatan Laut Indonesia beliau tumbuh menjadi prajurit pemberani dan sigap membela di medan pertempuran.[4]
Konflik Indonesia-Malaysia tanggal 17 September 1963 menyebabkan pemutusan hubungan diplomasi serta konflik senjata yang melibatkan tentara Nasional. Di situasi ini, Harun yang baru berusia 16 tahun menjadi sukarelawan di Sumbu, Riau dalam melakukan aksi ke Singapura. Pada tanggal 1 November 1963, ia mendapatkan gemblengan di Riau selama lima bulan lamanya. Tanggal 1 April, pangkatnya naik menjadi prajurit KKO II.[7]
Bulan Juli tahun 1964 ia ditugaskan di Tim Brahma I Basis II operasi A KOTI. Bergabung bersama Dwikora, ia dikirim ke Sumbu, Riau untuk menyusup ke Singapura. Dalam misi penyusupan beliau sangat ahli menyamar. Berbekal wajah yang seperti orang Cina dan keahlian bahasa asing, seperti Cina Belanda dan Inggris. Membuatnya tidak kesulitan memasuki area target. Ia sukses memasuki Singapura tanpa hambatan. Seringkali Harun Tohir menyamar sebagai masyarakat biasa atau pelayan kapal.[8]
Dalam misi KOTI basis X, beliau mendapatkan tugas berat bersama tiga teman lainnya yaitu Usman, Gani dan Raoep.[5] Misinya ialah demolision: sabotase objek vital militer atau ekonomi Singapura. Tanggal 8 Maret 1965 misi pun dijalankan, pada tanggal tersebut mereka memasuki Singapura saat tengah malam. Bersama teman-temannya mereka mengamati dan merumuskan sasaran yang cocok untuk di jadikan tempat sabotase (peledakan bom). Siang harinya, mereka berhasil menempatkan bom seberat 12,5 kilogram di Basement Hotel Mc Donald, di Orchard Road. Tepat pukul 03:07 shubuh, tanggal 10 Maret bom tersebut meledak.[6]
Tragedi meledaknya Hotel Mac Donald mengegerkan masyarakat dan pemerintah Singapura. Dengan cepat aparat Singapura dikerahkan untuk menyelidiki dan menangkap pelakunya. Setelah beredar berita tersebut, Harun dan teman-temannya berpencar untuk melarikan diri. Harun melarikan diri bersama Usman menuju pelabuhan.
Pada tanggal 13 Maret 1965, Harun Tohir dan Usman melarikan diri dengan motorboat menuju pangkalan militer di Sumbu Riau. Namun sayang, motorboat-nya mogok di tengah laut. Akibatnya, mereka berdua ditangkap oleh petugas patroli laut Singapura. Pukul 09.00 mereka di bawa ke Singapura sebagai tawanan. Semejak kejadian tersebut mereka mendekam di penjara selama 7 bulan sebelum hukuman resmi dijatuhkan.[9]
Pada akhirnya, tanggal 4 Oktober 1965, kasus peledakan bom oleh Harun Tohir segera digelar di Mahkamah Tinggi Singapura (High Court). Saat pengadilan berlangsung Harun Tohir membela diri, karena pada kenyataannya beliau melakukan hal tersebut dalam rangka tugas negara yang sedang berperang, oleh karena itu Harun Tohir meminta diperlakukan dan diadili sebagai tawanan perang. Namun sayang, pengadilan tinggi Singapura menolak pembelaan diri tersebut. Dua minggu setelah pengadilan, hakim menjatuhi hukuman mati gantung kepada mereka dengan tuduhan pembunuhan terencana dengan aksi sabotase.[8]
Mendengar berita tersebut, pemerintah Indonesia mulai berdiplomasi untuk membujuk Singapura agar meringankan hukuman Harun dan temannya. Beberapa usaha telah dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Pada tanggal 5 Oktober 1966, Indonesia mengajukan banding ke Singapura namun ditolak. Selain itu juga, tanggal 17 Februari 1967 Indonesia berusaha membawa kasus ini ke pengadilan internasional di London, namun ditolak juga. Usaha mengirimkan Adam Malik sebagai menteri luar negeri pun, tidak membuahkan hasil.[6] Pemerintahan Singapura tetap menetapkan hukuman mati gantung.
Sehari sebelum eksekusi hukuman gantung, Harun bin Said menuliskan surat untuk Ibunya.
Hukuman jang akan diterima oleh Ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini Ananda harap kepada Ibunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia yang menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam dunia ini akan tetap kembali ke Illahi… Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan Ananda selama ini… Ananda tutup surat ini dengan utjapan terima kasih dan selamat tinggal selama-lamanja, amin… Djangan dibalas lagi
Eksekusi akan dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06:00 pagi. Sejam sebelum itu, Harun Tohir menunaikan shalat subuh untuk terakhir kalinya. Dia pasrah atas ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum di eksekusi tangan beliau dibius dan dipotong. Setelah eksekusi jenazahnya langsung dikembalikan ke tanah air. Sehari setelahnyanya, tanggal 18 Oktober 1968 pemakaman militer digelar dengan haru.[5]
Kematiannya, menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Presiden Soeharto sendiri, memberikan pesan khusus melalui Brigjen TNI Tjokropranolo, kepada Tohir dan Usman yang menyatakan kebanggan atas perjuangan mereka berdua. Selain itu sejam setelah eksekusi Tohir para Penjabat Kuasa Usaha RI menggelar upacara penghormatan dan mengheningkan cipta Wisma Indonesia. Di depan peserta yang berbaju hitam Letkol A. Rachman memberikan sambutan yang berisi penghormatan kepada kedua pahlawan muda tersebut.[5]
Reaksi tak terima di tubuh KKO-AL atas perlakukan Singapura kepada prajuritnya terlihat dari kesiapan KKO-AL menyerbu Singapura dalam waktu 24 jam. Sayangnya, aksi tersebut tidak mendapatkan izin dari pemerintah. MPRS Indonesia juga turut memberikan ucapan belasungkawa dan menyematkan gelar pahlwan kepada Tohir dan Usman. "Sebagai prajurit, saya ingin berkelahi" Reaksi ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang juga perwira KKO-AL. Berbeda dengan Kolonel KKO-AL Bambang yang menyampaikan kesedihannya lewat puisi yang berjudul "Patah Tumbuh Berganti untuk Usman dan Harun". Puisi tersebut masih tersimpan baik di Museum Korps Marinir, Jakarta.[5]
Aksi kesedihan juga diperlihatkan masyarakat Indonesia. Ketika jenazah mereka tiba di Tanah Air, masyarakat menyambutnya dengan hari dan memenuhi jalan dari Kemayoran sampai Merdeka Putih. Begitu pun saat pemakaman tanggal 18 Oktober 1968.[5]
Atas jasa-jasanya kepada negara, pangkatnya dinaikan menjadi Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar. Bendera merah putih setengah tiang dikibarkan oleh masyarakat.[5] Anggota Korps Komando AL-RI Harun bin Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta, dan kini nama ia diabadikan menjadi nama Jalan di depan Markas Korps Marinir (Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun), Kwitang, Jakarta Pusat,[11] Kapal Republik Indonesia, KRI Usmman-Harun (359) dan Bandar Udara Harun Thohir di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik.[9][12]