Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Tol Laut adalah konsep pengangkutan logistik kelautan di Indonesia yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo.[1] Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Indonesia. Dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, pemerintah berharap kelancaran distribusi barang dapat tercipta hingga ke pelosok, juga mewujudkan pemerataan harga logistik barang di seluruh wilayah Indonesia.
"Tol Laut untuk apa? Sekali lagi ini mobilitas manusia, mobilitas barang. Harga transportasi yang lebih murah, biaya logistik yang lebih murah, dan akhirnya kita harapkan harga-harga akan turun."
— Presiden Joko Widodo, Dikutip dari pidato pada tanggal 5 April 2016[2]
Karena geografi Indonesia yang berbentuk kepulauan, banyak pulau-pulau kecil yang sejak lama terisolir karena kurangnya infrastruktur yang dibutuhkan untuk distribusi sumber daya. Akibatnya, pulau-pulau ini kurang memiliki ketersediaan barang-barang pokok dan kalaupun tersedia, barang-barang tersebut dijual dengan harga yang sangat tinggi daripada di pulau utama Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Harga yang tinggi sangat disebabkan oleh biaya logistik yang tinggi untuk mengangkut barang-barang pokok ke pulau-pulau yang kecil dan jauh. Untuk mengatasi biaya logistik yang tinggi, pemerintah mulai membangun konsep Sistem Logistik Nasional.
Sistem logistik nasional untuk Indonesia pertama kali diajukan selama masa kepresidenan Yudhoyono, tetapi tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan. Pada masa periode kedua pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembang Sistem Logistik Nasional[3]. Dalam lampiran Bab 5 Perpres tersebut[4] untuk pertama kalinya ditetapkan Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pintu ekspor dan impor Indonesia bagian barat dan Pelabuhan Bitung sebagai pintu ekspor dan impor Indonesia bagian timur.
Kemudian dalam perkembangannya, Presiden Joko Widodo mengusulkan visinya untuk mengembangkan Indonesia dari "periferi", dengan menekankan bahwa negara harus lebih memperhatikan pembangunan dan daerah terisolasi yang sering diabaikan. Selama debat presiden 2014, dia mengusulkan visinya yang disebut "Nawa cita", strategi 9 poin yang termasuk rencana untuk memperata pembangunan antara periferi, perbatasan, dan daerah terisolasi, dan kota besar Indonesia. Ini termasuk pengurangan perbedaan harga, pembangunan ekonomi inklusif, dan ketersediaan lebih banyak barang dan transportasi untuk mereka yang tinggal di daerah periferi Indonesia. Selain itu, beliau ingin memperkuat identitas Indonesia sebagai bangsa maritim.
Cikal bakal program untuk memperata pembangunan tersebut sebenarnya berasal dari konsep Pendulum Nusantara yang dicetuskan pada tahun 2012 sebagai kelanjutan dari Sistem Logistik Nasional[5]. Dalam konsep pendulum nusantara ini, nantinya pemerintah bersama para operator pelabuhan dan stakeholder lainnya akan menyediakan rute pelayaran sepanjang jalur barat-timur Indonesia yang beroperasi seperti pendulum. Direncanakan rutenya akan melewati enam pelabuhan utama, yakni Belawan, Jakarta, Surabaya, Batam, Makassar dan Sorong. Dengan adanya sistem ini diharapkan dapat menurunkan ongkos atau tarif pengiriman di Indonesia.
Kemudian pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo mengusulkan Program Tol Laut sebagai pengganti program Pendulum Nusantara untuk mengurangi perbedaan harga barang, terutama di pulau-pulau kecil dan daerah perbatasan yang masuk dalam kategori kawasan Tertinggal, Terluar, Terdepan dan Perbatasan[6] (3TP). Program tersebut kemudian dibentuk pada tahun yang sama dengan tiga rute pengiriman awal.
Untuk mendukung program Tol Laut, pemerintah telah menetapkan berbagai dasar hukum pelaksanaannnya melalui berbagai Kementerian terkait yaitu sebagai berikut :
KM Logistik Nusantara 3, salah satu kapal petikemas utama
KM Camara Nusantara I, kapal ternak pertama diluncurkan pada 2015
KM Kendhaga Nusantara 13, kapal penghubung
KM Sabuk Nusantara 59, kapal pelopor di bawah program Tol Laut
KM Gandha Nusantara 18, kapal palka terbuka di bawah program Tol Laut
KM Banawa Nusantara 58, kapal kecil juga di bawah program Tol Laut
Kebanyakan kapal yang digunakan dalam program ini dibangun khusus atas perintah pemerintah. Kebanyakan kapal diberi nama berdasarkan nama kelasnya diikuti urutan pembangunannya, dan enam kelas kapal yang dioperasikan dalam program ini.
Pada tahun 2020 terdapat 116 kapal pionir, 14 kapal container, 6 kapal ternak, 18 kapal deck terbuka, dan 138 kapal rakyat.
adalah jenis kapal yang digunakan untuk mengangkut ternak hidup seperti sapi, babi, dan kambing. Kapal ini memiliki penggunaan yang luas dan rute reguler ke dan dari Barat dan Timur Nusa Tenggara. Kedua provinsi memiliki populasi dan industri ternak yang signifikan. Kapal ini juga dilengkapi dengan fasilitas untuk memberi makan ternak, penampungan ternak, klinik dokter hewan, dan fasilitas karantina hewan. Setiap kapal biasanya mampu membawa hingga 500 sapi.
kapal petikemas utama adalah kapal petikemas yang mampu membawa hingga 100 unit yang setara dengan 20 kaki. Panjang pelabuhan pelabuhan minimum untuk kapal ini adalah 100 meter. Ini adalah kapal induk dalam program ini, biasanya tidak mampu mencapai pelabuhan yang lebih kecil, yang sebagian besar beroperasi antara pelabuhan dasar. Karena itu, kapal-kapal ini dibantu oleh kapal feeder.
kapal pengumpan adalah versi kecil dari kapal petikemas utama. Mereka juga membawa petikemas yang lebih sedikit dan lebih kecil. Kapal pionir (kelas Sabuk Nusantara) adalah kapal yang melayani rute kecil yang masih memiliki nilai komersial yang sedikit. Mereka membawa barang dan mengangkut orang. Mereka juga digunakan untuk mengangkut barang dari pelabuhan kecil ke pelabuhan besar dan sebaliknya. Kapal ini mampu membawa hingga sekitar 250-500 orang dan barang antara 200 dan 400 ton pada saat yang sama.
Kapal palka terbuka adalah kapal yang dibangun khusus dengan palka terbuka dan pintu rampa terbuka. Secara umum, ukuran yang sama dengan kapal pionir, mereka juga mengangkut orang dan barang pada saat yang sama. Kapal palka terbuka juga digunakan untuk wisata.
jenis kapal ini biasanya terdiri dari perahu kecil yang didonasikan oleh masyarakat
Pada tahun anggaran 2023 sampai bulan Juli 2023, telah dilakukan penyelenggaraan kewajiban pelayananan publik untuk Tol Laut dengan hasil sebagai berikut[15]. :
Pada tahun 2017 saat adanya tol laut berpengaruh pada penurunan nilai indeks harga untuk barang komoditas. Secara nasional, diperkirakan program ini mengurangi harga barang dasar dan bahan makanan sebesar rata-rata 30%. Tol Laut juga telah mendukung distribusi pada Sistem Logistik Ikan Nasional di 12 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) pada daerah tertinggal, terpencil, terluar dan daerah perbatasan (3TP). Semua lokasi SKPT tersebut di telah terjangkau oleh rute trayel Tol Laut kecuali SKPT Sabang[16].
Program ini dikritik karena beberapa alasan. Salah satunya adalah bahwa program tersebut tidak membantu industri pelayaran Indonesia. Meskipun sebagian besar kapal dibangun di Indonesia, sekitar 60-75% komponen kapal masih diimpor pada tahun 2018. Pelabuhan lokal juga jarang digunakan untuk perbaikan dan perawatan, dan hanya 10% kapal baru yang menggunakan pelabuhan lokal. Dalam perawatan dan perbaikan, 80% permintaan perawatan dan perbaikan berasal dari kapal yang dioperasikan oleh pemerintah, menunjukkan kurangnya bisnis oleh negara pelayaran swasta.
Menurut Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, meskipun program ini menurunkan harga dan biaya logistik secara keseluruhan, Indonesia masih memiliki logistik yang lebih mahal dibandingkan daerah tetangga seperti Jepang dan China. Data Bank Dunia pada tahun 2018 menunjukkan bahwa biaya mengangkut sebuah kontainer dari Jakarta ke Singapura, Hong Kong, Bangkok, dan Shanghai sekitar $100-200, sementara biaya mengangkut dari Jakarta ke Padang, Medan, Banjarmasin, dan Makassar masih lebih dari $1.400.
Kritik lain adalah jumlah pelabuhan yang digunakan masih sangat sedikit. Pada tahun 2017, hanya 97 dari 570 pelabuhan yang beroperasi yang digunakan oleh program. Indeks Konektivitas Pelayaran Indonesia adalah peringkat 36 dari 178 negara. Meskipun membaik, ini masih jauh dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam dengan peringkat masing-masing 5 dan 19.
Kekurangan barang muat ulang juga dikritik. Pengusaha lokal dan bisnis dari pelabuhan tujuan tidak menggunakan program untuk memanfaatkan pasar kota. Pada tahun 2020, ukuran barang muat ulang hanya 34% dari barang yang diterima. Sebagai tanggapan, Kementerian Perhubungan membentuk tim khusus untuk mengatasi masalah dan meningkatkan barang muat ulang. Ekonom Indonesia, Faisal Basri, mengkritik program hanya memberikan keuntungan bagi pedagang dan bisnis yang memiliki kontrol atas pelabuhan.