Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Sistem televisi berjaringan di Indonesia (secara resmi disebut Sistem Stasiun Jaringan, disingkat SSJ)[1] diwajibkan pada setiap lembaga penyiaran di Indonesia yang hendak melakukan siaran dalam lingkup nasional, baik publik maupun swasta, sebagai sarana mewujudkan demokratisasi penyiaran. Sistem ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Konsep sistem ini mengacu dan mirip dengan sistem penyiaran yang terdapat di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat[2] dan Brasil.
Sistem ini mulai secara resmi diberlakukan di Indonesia pada tanggal 28 Desember 2009.[1] TV nasional dapat bertindak sebagai induk stasiun jaringan dan TV lokal bertindak sebagai anggota stasiun jaringan, dimana stasiun induk bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota. Dalam TV berjaringan, semangat dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), keberagaman isi siaran (diversity of content), dan kearifan lokal.
Kelahiran sistem televisi berjaringan tidak bisa dilepaskan dari lahirnya perubahan politik di Indonesia pasca 1998. Salah satu tuntutan dari perubahan tersebut adalah desentralisasi dan demokratisasi di berbagai bidang. Selama ini, sistem penyiaran di Indonesia, yang dibangun sejak kelahiran televisi swasta, dirasa tidak memenuhi aspek tersebut dengan keberadaan televisi swasta nasional yang bersiaran secara tersentralisasi dari Jakarta. Acara-acara televisi swasta hampir semuanya berasal dari Jakarta, tidak melokal dan keuntungan dari iklan pun mengalir ke Jakarta saja.[3] Selain itu, penguasaan frekuensi/kanal di banyak daerah oleh segelintir pihak, tidak sesuai dengan konsep bahwa frekuensi adalah milik publik yang mahal dan terbatas harganya.[4] Ini belum termasuk ide bahwa penyiaran harusnya memerhatikan aspek keragaman pemilik (diversity of ownership) dan keragaman konten (diversity of content).[5]
Jika ditarik ke belakang, pada awalnya konsep televisi di Indonesia yang dibangun adalah sistem berjaringan. TVRI misalnya memiliki memiliki sejumlah stasiun di daerah-daerah yang memiliki identitas dan acara yang berbeda dengan TVRI Nasional. Lalu, pada awal kehadiran televisi swasta pada akhir 1980-an, sistem yang ingin dikembangkan juga serupa: RCTI Jakarta berjaringan dengan tiga televisi swasta lokal di daerah-daerah yang menyiarkan acara serupa, namun dengan susunan program yang berbeda: RCTI Bandung, SCTV Surabaya dan SCTV Denpasar. Walaupun demikian, akibat tekanan dari pemilik stasiun televisi swasta yang umumnya berasal dari kerabat dan kroni Presiden Soeharto, maka hanya dalam waktu beberapa tahun (1990-1993), kebijakan tersebut ditinggalkan dan diganti menjadi sentralisasi siaran dari Jakarta.[3]
Konsep sentralisasi siaran ini kemudian berusaha diubah dalam penyusunan UU Penyiaran pertama di Indonesia: UU No. 24/1997, yang awalnya memasukkan klausul bahwa televisi swasta nasional hanya boleh menjangkau siarannya secara langsung dari pusat/Jakarta (lewat stasiun transmisi) paling banyak sebesar 50% penduduk Indonesia, dan 50% penduduk sisanya bisa dijangkau dengan menjalin kerjasama dengan televisi lokal di daerah-daerah. Walaupun demikian, lagi-lagi karena pemerintah menolak menandatanganinya akibat tekanan industri penyiaran, maka klausul itu dihapuskan.[3] Malahan, UU No. 24/1997 memasukkan klausul bahwa stasiun televisi swasta harus didirikan di ibukota negara dan jumlahnya dibatasi pemerintah.[6]
Seiring perubahan politik yang terjadi, maka klausul pembatasan siaran itu akhirnya kembali dimasukkan dalam penyusunan UU No. 32/2002, dengan kini seluruh televisi swasta nasional harus bersiaran secara berjaringan, itupun terbatas dengan tidak menjangkau 100% wilayah Indonesia. Walaupun sempat mendapat penolakan dari kelompok seperti ATVSI,[3] akhirnya UU Penyiaran tersebut bisa disahkan pada tahun 2002 dan masih berlaku hingga saat ini.
UU No. 32/2002 menjadi landasan sistem penyiaran berjaringan di Indonesia, termasuk televisi. Pasal 6 undang-undang tersebut menyebut bahwa dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
Lebih jauh lagi, pasal 31 menjelaskan bahwa lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi, terdiri atas stasiun penyiaran jaringan (atau stasiun induk jaringan) dan/atau stasiun penyiaran lokal. Namun terdapat perbedaan cakupan antara Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPP): pada saat jangkauan LPP meliputi seluruh wilayah Indonesia, jangkauan LPS dibatasi. Stasiun lokal dapat didirikan di suatu lokasi dengan jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut, serta mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun diutamakan kepada masyarakat setempat. Ketentuan lebih lanjut diatur oleh Pemerintah bersama KPI, lembaga negara yang dibentuk dari UU ini.
Klausul SSJ yang ada dalam UU No. 32/2002 (dan aturan turunannya) menghapuskan apa yang disebut "stasiun televisi nasional" dan "stasiun televisi lokal".[3] Secara ideal/de jure, bisa dikatakan kini seluruh stasiun televisi yang ada di Indonesia adalah stasiun televisi lokal yang izinnya didapat di daerah masing-masing. Yang membedakan mereka adalah apakah stasiun televisi lokal itu menjadi anggota/induk sebuah jaringan televisi atau berdiri sendiri.[7] Jaringan televisi pun, dapat beroperasi secara nasional maupun regional (contohnya JTV dan BBS TV yang merupakan jaringan televisi yang melingkupi beberapa kota di Jawa Timur). Maka, tidak tepat jika kita menyebut, misalnya RCTI atau Indosiar sebagai "stasiun televisi nasional", melainkan "jaringan televisi nasional", yang siaran nasionalnya (dari induk jaringannya di Jakarta) direlai oleh televisi lokal anggota-anggota jaringan yang ada di berbagai daerah.
Terdapat aturan yang dikenakan mengenai relai siaran kepada televisi swasta, baik yang berjaringan maupun tidak. Hal ini untuk menjaga siaran lokal suatu stasiun: agar suatu jaringan tidak menyiarkan seluruh acaranya atau suatu stasiun anggota jaringan tidak merelai siaran dari stasiun induknya sepanjang waktu.
Menurut pasal 17 ayat 2 dan 3 PP No. 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta,[8] durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran melalui sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 90% dari seluruh waktu siaran per hari. Sedangkan untuk lembaga penyiaran televisi yang tidak berjaringan, durasi relai tersebut dibatasi paling banyak 20% dari seluruh waktu siaran per hari. Maksud "relai siaran untuk acara tetap" adalah relai yang dilakukan secara berkala dan berlangsung lebih dari sebulan. Dalam aturan turunan PP tersebut, juga ditegaskan bahwa persentase relai siaran induk jaringan akan diturunkan secara bertahap menjadi 50% berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran swasta.[7]
Berdasarkan interpretasi pasal 60 ayat 2 UU No. 32/2002[11] (yang berlaku mulai Desember 2002), stasiun televisi yang sudah ada sebelum UU ini harus menyesuaikan dengan ketentuan UU (semisal bila ingin berjaringan harus bermitra dengan stasiun televisi lain); dengan tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2005. Stasiun televisi yang sudah memiliki stasiun relai di satu daerah dan setelah berakhirnya masa penyesuaian bisa menggunakan stasiun relainya sampai berdirinya stasiun lokal berjaringan di daerah tersebut, dengan tenggat hingga akhir tahun 2006.
Namun, implementasi desentralisasi penyiaran yang diharapkan di Indonesia, nyatanya di lapangan susah diwujudkan. Ini tidak lain karena berbagai faktor, seperti tekanan industri penyiaran (atau asosiasi TV nasional) akan penerapan sistem ini, adanya gugatan-gugatan, ketidaksiapan televisi lokal, dan kemauan politik pemerintah.[12] Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Ade Armando mencatat, pukulan pertama pada proses ini dimulai pada Juli 2004, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusannya atas gugatan yang dilakukan oleh sejumlah pihak seperti ATVSI, IJTI, PRSSNI, dan beberapa organisasi lainnya. Dalam putusan itu, MK mencoret klausul yang menyebutkan pengaturan regulasi harus dilakukan oleh KPI bersama pemerintah (seperti pasal 31 ayat 4 UU No. 32/2002: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah") menjadi hanya oleh pemerintah saja.[3]
Walaupun ada harapan bahwa pemerintah tetap akan mendukung proses demokratisasi penyiaran, nyatanya pemerintah kemudian "lebih akrab" dengan industri penyiaran televisi dengan mengeluarkan PP No. 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Meskipun tampaknya PP ini membatasi langkah televisi swasta dalam proses televisi berjaringan dengan pembatasan kepemilikan bagi mitra lokal/jaringannya di daerah (seperti di atas), nyatanya aturan turunan yang sama juga mengatur bahwa jika stasiun televisi (nasional) yang sudah ada sudah memiliki stasiun transmisi di daerah, maka kebijakan pembatasan kepemilikan itu tidak berlaku, dengan kini boleh pada jaringan kedua, ketiga dan seterusnya sebesar 90%; sedangkan untuk daerah terpencil/perbatasan, kepemilikannya boleh 100%.[3]
Prinsip tersebut memberi keleluasaan bagi televisi berjaringan demi mempertahankan kendalinya atas jaringan-jaringannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Ini masih belum ditambah klausul lainnya dalam PP yang sama (pasal 36), yang meskipun tampak restriktif (membatasi bahwa jaringan televisi nasional hanya bisa dinikmati di 75% wilayah Indonesia), namun juga memberi keleluasaan bisa dinaikkan menjadi 90% jika stasiun transmisinya sudah "keburu" dibangun di lebih dari 75% wilayah Indonesia. Pasal lainnya muncul dengan niat serupa: bahwa perizinan televisi kini ditangani dominan oleh pemerintah, dan KPI hanya sebagai "perantara" antara stasiun televisi dan Menkominfo (pasal 4); dan televisi swasta nasional bisa hanya "menyesuaikan izinnya" ke menteri Kominfo, bukan mengajukan izin baru.[3]
Keleluasaan lagi-lagi diberikan oleh pemerintah, dengan memberikan perpanjangan tenggat waktu transisi dari stasiun transmisi/relai ke televisi lokal di daerah (artinya perubahan dari "televisi swasta nasional" ke "jaringan televisi nasional") dari 2007 ke Desember 2009, setelah mendengar alasan dari ATVSI. Kemacetan niat sistem berjaringan diperparah dengan penerbitan Permenkominfo No. 32/2007 dan Permenkominfo No. 43/2009. Walaupun kedua aturan tersebut mewajibkan pelepasan saham stasiun jaringannya ke pemegang saham lokal serta pemberlakuan sistem siaran jaringan maksimal 28 Desember 2009 dan meminta adanya siaran lokal terus naik dari 10% menjadi 50%, namun masih memberi keleluasaan bagi pemilik stasiun televisi besar untuk mempertahankan kepemilikan mutlak atas stasiun jaringannya (hasil transisi dari stasiun relai) jika "di daerah tidak memiliki modal yang cukup atau alasan khusus".[3] Pada akhirnya, diversifikasi kepemilikan yang diharapkan dalam sistem jaringan, sampai saat ini relatif hanya angan-angan semata, karena aturan UU Penyiaran masih memberi peluang bagi pemain besar mempertahankan kepemilikan dan sentralisasi siarannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Yang berubah hanyalah bentuk frekuensi yang dimiliki stasiun televisi Jakarta: dari awalnya dikelola oleh stasiun relai, kini menjadi stasiun jaringan yang pemiliknya tetap pihak yang sama.[3]
Salah satu contoh dari kemacetan penetapan klausul berjaringan tersebut adalah, dalam beberapa laporan keuangan induk sejumlah stasiun televisi (seperti Media Nusantara Citra dan Surya Citra Media), perusahaan jaringannya di daerah-daerah disebutkan "belum melakukan aktivitas (usaha)/beroperasi secara komersial".[13][14] Hal yang sama akhirnya juga diterapkan oleh jaringan televisi nasional yang terbentuk pasca UU Penyiaran (seperti iNews, NET., RTV dan Kompas TV). Mereka tidak menerapkan sistem dimana seharusnya TV nasional (atau Jakarta) bermitra dengan stasiun lokal (yang dimiliki terpisah), melainkan mengakuisisi kepemilikan stasiun televisi lokal di daerah-daerah[15] dan tetap menyiarkan siarannya yang didominasi dari pusat. Bahkan, ada juga yang "menyimpang", misalnya jaringan-jaringan NET. yang 100% kepemilikannya dipegang induk stasiun televisi ini, Net Visi Media lewat anak-anak usahanya yang dibentuk di daerah-daerah, bukannya oleh pemodal lokal.[16]
Ini belum termasuk definisi siaran lokal yang tidak jelas di peraturan-peraturan diatas, sehingga sangat leluasa diinterpretasikan televisi nasional (misalnya bisa siaran ulang beberapa kali asalkan bernuansa daerah), ditambah program dari stasiun lokal jaringan yang ada kebanyakan hanya 10% saja dari jam siar dan tidak bisa lebih dari itu.[3] Berdasarkan laporan KPI pada RDP dengan DPR awal Januari 2018, hanya 4 jaringan televisi nasional Jakarta yang memenuhi durasi minimal 10% jam tayang siaran lokal tiap harinya dari 14 televisi yang dievaluasi.[2] Kendali susunan program dan keorganisasian televisi lokal anggota jaringan juga dalam banyak kasus masih dikendalikan dari induk jaringan, tanpa input lokal yang memadai.[17] Meskipun banyak dipenuhi kecacatan (seperti masih dipenuhi sentralisasi yang kuat), saat ini nampak belum ada keinginan dari pemangku kebijakan untuk melaksanakan penuh penerapan SSJ yang ideal. Malahan, dalam rencana revisi UU Penyiaran, sebagian pihak menafsirkan niat dari pembuat kebijakan untuk menghilangkan atau mengaburkan klausul konsepsi siaran secara berjaringan.[2][18]
Secara dasar, implementasi sistem siaran berjaringan di Indonesia di televisi swasta dapat dikatakan tidak sempurna, yang tampak dari struktur kepemilikannya dan siaran lokalnya. Beberapa karakteristik penerapannya yang umum, meliputi:
Umumnya, jaringan televisi nasional "lama" (yang terbentuk sebelum UU Penyiaran No. 32/2002 dikeluarkan, seperti MNCTV, antv dan Indosiar serta sebelumnya dikenal sebagai stasiun televisi nasional) mengikuti prinsip yang ada dari PP No. 50/2005 dan aturan turunannya. Mereka melakukan konversi pada stasiun transmisi/relai di daerah-daerahnya, menjadi dikelola oleh sebuah badan hukum terpisah dari induknya di Jakarta. Satu perusahaan juga biasanya bisa memiliki dua izin siaran sekaligus di provinsi yang berbeda. Sebagai contoh, masing-masing untuk Jawa Barat dan Banten, RCTI bersiaran secara berjaringan di bawah PT RCTI Satu (dengan nama udara RCTI Network Jawa Barat dan RCTI Network Banten),[25] sedangkan SCTV bersiaran secara berjaringan di dua provinsi yang sama di bawah PT Surya Citra Mediatama (dengan nama udara SCTV Bandung dan SCTV Serang). Pola penamaan perusahaan ini ini umumnya serupa di semua eks-stasiun televisi nasional (nama televisi + daerah).[19] Pada beberapa jaringan juga, umumnya perusahaan-perusahaan jaringannya di daerah-daerah juga memancarkan siaran lokalnya dan mengelola transmisi di provinsi yang sama. Misalnya kembali ke PT RCTI Satu/RCTI Network Jawa Barat, siaran lokalnya ditransmisikan juga di beberapa kota di Jawa Barat.
Kemudian, pada jaringan televisi nasional baru (seperti NET. dan iNews), umumnya mereka membentuk jaringannya hasil akuisisi dari stasiun televisi lokal yang ada di berbagai daerah, atau membentuk anak usaha/jaringan baru. iNews misalnya merupakan "penyatuan" dari berbagai stasiun televisi lokal seperti KCTV Pontianak, Deli TV Medan, SUN TV Makassar, dan lainnya. Biasanya, anggota jaringan dari televisi nasional baru awalnya bersiaran dengan nama lokal, namun kemudian identitasnya disatukan. Siaran dari jaringan-jaringannya di daerah pun tidak bisa melingkupi satu provinsi, terbatas pada satu kota saja. Misalnya kembali ke iNews, di Sumatera Barat, ada tiga jaringannya yang terpisah: iNews Tanah Datar (PT Semesta Bumi Televisi) dengan cakupan siar Batusangkar; iNews Payakumbuh (d/h Pass TV, PT Pass Televisi) dengan cakupan siar Payakumbuh; dan iNews Padang (d/h Minang TV, PT Minang Media Televisi Sumbar) dengan cakupan siar Kota Padang.[19]
Meskipun demikian, ada juga tipe televisi berjaringan lain yang berada di luar pola diatas. Jaringan Jawa Pos Multimedia/JPM dan Indonesia Network misalnya, bisa kita katakan walaupun nampaknya kurang sesuai dengan pembatasan kepemilikan televisi (dipegang satu induk), namun masih mempertahankan identitas lokal yang cukup kuat di samping identitas nasional (hal ini dapat dilihat dengan jelas seperti pada kasus JPM. JPM memiliki siaran nasional seperti program berita Nusantara Kini, namun masih juga memiliki porsi acara lokal yang besar pada anggota jaringannya).[15] Tipe lainnya adalah sebagai content provider, dimana jaringan dibangun dengan adanya acara bersama yang disuplai induk/direlai sejumlah anggota jaringan tanpa adanya kesamaan pengendalian/kepemilikan. Biasanya, metode ini dipilih karena induk jaringan tidak memiliki izin IPP. Metode ini pernah ditempuh seperti oleh Tempo TV,[26] Kompas TV (saat awal kemunculannya),[27] dan QTV/BeritaSatu.
Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bersama aturan turunannya (PP No. 46/2021 dan Permenkominfo No. 6/2021), mengubah sejumlah pasal dalam UU No. 32/2002 dan PP No. 50/2005 dalam siaran berjaringan. Secara umum, perubahan dalam UU Ciptaker dan aturan turunannya dalam penerapan SSJ meliputi:[9][28]