Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Bagian dari seri |
Mitologi Yunani |
---|
Dewa-dewi |
Wira dan kewiraan |
Artikel terkait |
Portal Mitologi |
Mitologi |
---|
Mitologi Yunani adalah kumpulan mitos yang mula-mula diceritakan oleh orang-orang Yunani Kuno, dan merupakan salah satu ragam cerita rakyat Yunani Kuno, yang dewasa ini dimasukkan bersama-sama dengan mitologi Romawi ke dalam suatu himpunan lebih besar yang disebut mitologi Klasik. Cerita-cerita tersebut berkaitan dengan pandangan agama Yunani Kuno tentang asal-usul dan hakikat dunia; kehidupan dan sepak terjang dewa-dewi, wirawan-wirawati, dan makhluk-makhluk mitologis; serta asal-usul dan signifikansi amalan-amalan pemujaan dan upacara bangsa Yunani Kuno. Para sarjana modern mempelajari mitos-mitos tersebut untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai lembaga-lembaga keagamaan maupun lembaga-lembaga politik Yunani Kuno, dan untuk lebih memahami hakikat penciptaan-mitos itu sendiri.[1]
Mitos-mitos Yunani mula-mula disebarluaskan di dalam bingkai tradisi syair lisan, kemungkinan besar oleh para penembang Minoa dan Mikenai sejak abad ke-18 Pramasehi;[2] pada akhirnya mitos-mitos tentang para wirawan Perang Troya dan pasca-Perang Troya menjadi bagian dari tradisi lisan syair-syair wiracarita Homeros, Ilias dan Odiseya. Dua syair anggitan Hesiodos yang hidup hampir sezaman dengan Homeros, yaitu Teogonia dan Pekerjaan dan Hari-Hari, memuat keterangan-keterangan tentang penciptaan dunia, suksesi para penguasa ilahi, suksesi zaman umat manusia, asal-usul penderitaan umat manusia, dan asal-usul amalan-amalan persembahan. Mitos-mitos juga terabadikan di dalam Gita Puja Homeros, di dalam fragmen-fragmen syair kewiraan dari Lingkup Sastra Wiracarita, di dalam syair-syair lira, di dalam gubahan-gubahan para sandiwarawan tragedi dan komedi dari abad ke-5 Pramasehi, di dalam karya-karya tulis para sarjana dan penyair zaman Helenistis, maupun di dalam karya-karya tulis para pujangga dari zaman Kekaisaran Romawi seperti Plutarkhos dan Pausanias.
Di samping khazanah naratif di dalam kesusastraan Yunani Kuno ini, gambar-gambar sosok dewa-dewi, wirawan-wirawati, dan kejadian-kejadian mitos juga tampil mencolok pada lukisan-lukisan jambangan dan hiasan persembahan-persembahan nazar maupun berbagai artefak lain. Corak-corak geometris pada barang-barang pecah-belah dari abad ke-8 Pramasehi menggambarkan adegan-adegan yang terambil dari Lingkup Sastra Wiracarita maupun kisah-kisah petualangan Herakles. Pada zaman Purwa, Klasik, maupun Helenistis, karya-karya sastra Homerus dan berbagai penggambaran mitologis lainnya kian memperkaya bukti sastrawi yang sudah ada.[3]
Mitologi Yunani sudah banyak memengaruhi budaya, seni rupa, maupun sastra peradaban Eropa, dan masih tetap menjadi bagian dari warisan sejarah dan bahasa Eropa. Para penyair dan seniman dari dulu sampai sekarang telah menimba inspirasi dari mitologi Yunani, dan telah menemukan kembali signifikasi dan relevansi sezaman di dalam tema-tema mitologi Yunani.[4]
Mitologi Yunani dewasa ini diketahui terutama dari karya-karya sastra Yunani dan representasi-representasi pada media visual yang diperkirakan berasal zaman Geometris, yakni kurun waktu sekitar tahun 900 Pramasehi sampai sekitar tahun 800 Pramasehi, dan sesudahnya.[5] Pada kenyataannya, sumber-sumber sastrawi dan sumber-sumber arkeologis digabung menjadi satu korpus data, kadang-kadang saling mendukung dan kadang-kadang pula saling bertentangan; meskipun demikian, dalam banyak kasus, keberadaan korpus data semacam ini merupakan indikasi yang kuat bahwa banyak unsur mitologi Yunani memiliki akar faktual dan kesejarahan yang kuat.[6]
Narasi mitos memainkan peran penting dalam hampir semua ragam sastra Yunani. Meskipun demikian, satu-satunya buku pedoman umum mitografi bangsa Yunani yang sintas dari Abad Kuno adalah Biblioteke karya Apolodoros-Semu. Karya tulis ini berusaha merukunkan cerita-cerita yang saling bertentangan dari para penyair, serta menyajikan suatu ikhtisar lengkap mitologi Yunani tradisional dan legenda-legenda kewiraan.[7] Apolodoros orang Atena, yang hidup sekitar tahun 180 sampai sekitar tahun 125 Pramesehi, menulis risalah-risalah yang berkaitan dengan banyak topik mitologi Yunani. Mungkin saja risalah-risalahnya itu yang menjadi landasan penyusunan Biblioteke. Meskipun demikian, Biblioteke membicarakan kejadian-kejadian yang baru terjadi lama sesudah kematian Apolodoros, dan oleh karena itu disifatkan sebagai karya tulis Apolodorus-Semu.
Kedua puisi wiracarita Homeros, yakni Ilias dan Odiseya, adalah dua di antara sekian banyak sumber sastrawi terdahulu. Karya-karya para penyair lain melengkapi kumpulan Lingkup Sastra Wiracarita, tetapi syair-syair yang ditulis lebih kemudian dan tidak sehebat karya Homeros tersebut sekarang ini hampir semuanya sudah hilang. Sekalipun dari generasi ke generasi dikenal dengan nama Gita Puja Homeros, syair-syair tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan Homeros. Syair-syair tertua adalah gita-gita puja paduan suara dari bagian awal kurun waktu yang disebut Zaman Syair Lira.[8] Hesiodos, yang kemungkinan besar hidup sezaman dengan Homeros, menyajikan di dalam syairnya, Teogonia (Asal-Usul Dewa-Dewi), keterangan terlengkap tentang mitos-mitos Yunani tertua, yang berkaitan dengan penciptaan dunia, asal-usul dewa-dewi, titan-titanis, dan raksasa-raksasi, maupun silsilah-silsilah rumit, cerita-cerita rakyat, dan mitos-mitos etiologis. Pekerjaan dan Hari-Hari, seuntai syair tuntunan peri kehidupan bertani anggitan Hesiodos, juga memuat mitos Prometeus, Pandora, dan Lima Zaman. Sang Penyair memetuahkan cara terbaik untuk berjaya di dalam dunia penuh marabahaya, yang dibuat kian berbahaya oleh dewa-dewi.[3]
Para penyair lira kerap menganggit syair bertemakan mitos, tetapi cara penyampaiannya lambat laun menjadi kurang naratif dan lebih alusif. Para penyair lira Yunani, antara lain Pindaros, Bakhilides, dan Simonides, maupun para penyair kegembalaan seperti Teokritos dan Bion, mengisahkan kejadian-kejadian mitologis yang berdiri sendiri.[9] Selain itu, mitos merupakan jantung drama Atena klasik. Sandiwarawan tragedi Aiskhilos, Sofokles, dan Euripides menggali sebagian besar alur cerita mereka dari mitos-mitos zaman wira dan Perang Troya. Banyak kisah tragedi yang hebat (seperti kisah Agamemnon dan anak-anaknya, kisah Oidipus, kisah Yason, kisah Medeya, dst.) mendapatkan format klasiknya dari sandiwara-sandiwara tragedi ini. Sandiwarawan komedi Aristofanes juga menggunakan mitos di dalam gubahan-gubahannya, Burung-Burung dan Katak-Katak.[8]
Sejarawan Herodotos dan Diodoros Sikolos, maupun geograf Pausanias dan Strabon, yang berkelana ke seluruh pelosok dunia Yunani dan mencatat kisah-kisah yang mereka dengar, menyumbangkan banyak mitos dan legenda lokal, acap kali menampilkan versi-versi alternatif yang jarang diketahui orang.[9] Herodotos pada khususnya menggali berbagai tradisi yang dijumpainya sepanjang perjalanan, dan menemukan akar kesejarahan atau mitologis di dalam konfrontasi antara bangsa Yunani dan bangsa-bangsa Timur.[10][11] Herodotos berusaha merukunkan asal-mula dengan bauran konsep-konsep budaya yang berlainan.
Syair-syair dari zaman Helenistis dan zaman Romawi rata-rata dianggit sebagai laku sastra ketimbang sebagai laku puja. Meskipun demikian, syair-syair tersebut mengandung banyak detail penting yang bisa-bisa hilang ditelan zaman andaikata syair-syair tersebut tidak digubah. Kategori ini mencakup gubahan-gubahan:
Para penulis prosa dari rentang-rentang waktu yang sama, yang merujuk mitos-mitos di dalam karya-karya tulisnya, adalah Apuleyus, Petronius, Lolianus, dan Heliodoros. Sumber-sumber nonsyair penting lainnya adalah Fabulae dan Astronomica karya penulis Romawi yang dijuluki Higinus-Semu, Imagines karya Filostratos Tua dan Filostratos Muda, serta Ekfraseis karya Kalistratos.
Yang terakhir, beberapa sastrawan Yunani asal Romawi Timur menyajikan pemerian-pemerian mitos yang penting, yang sebagian besar disadur dari karya-karya sastra Yunani terdahulu yang kini sudah hilang. Para pelestari mitos tersebut adalah Arnobius, Hesikhios, penulis Souda, Yohanes Tzetzes, dan Estatios. Mereka kerap menyoroti mitologi dari sudut pandang penilaian Kristen.[12]
Penemuan peradaban Mikenai pada abad ke-19 oleh arkeolog amatir Jerman, Heinrich Schliemann, dan penemuan peradaban Minoa di Kreta pada abad ke-20 oleh arkeolog Inggris, Arthur Evans, membantu menjawab banyak pertanyaan seputar wiracarita-wiracarita Homeros, dan memberikan bukti arkeologis bagi banyak pemerian mitologis mengenai dewa-dewi dan wirawan-wirawati. Semua bukti mitos dan upacara yang berasal dari situs-situs peradaban Mikneai maupun Minoa berwujud monumen, lantaran aksara Linier B (ragam kuno aksara Yunani yang ditemukan di Kreta maupun Yunani Daratan) lebih sering dipakai dalam kegiatan pencatatan persediaan, kendati beberapa nama dewa-dewi dan wirawan-wirawati tertentu sudah teridentifikasi secara tentatif.[3]
Corak-corak geometris pada barang-barang pecah-belah peninggalan abad ke-8 Pramasehi menggambarkan adegan-adegan dari lingkup cerita Perang Troya, maupun dari kisah-kisah petualangan Herakles.[13] Representasi-representasi visual mitos-mitos tersebut dianggap penting karena dua alasan. Yang pertama, banyak mitos Yunani yang lebih dulu digambarkan pada jambangan-jambangan daripada diceritakan di dalam sumber-sumber sastrawi. Sebagai contoh, dari kedua belas tugas Herakles, hanya kisah penangkapan Kerberos sajalah yang muncul di dalam karya sastra sezaman.[14] Yang kedua, sumber-sumber visual kadang-kadang merepresentasikan mitos-mitos atau adegan-adegan mitos yang tidak muncul di dalam sumber sastrawi manapun. Dalam beberapa kasus, representasi tertua mitos dalam karya seni rupa geometris ternyata muncul beberapa abad mendahului representasi pertamanya dalam syair dari penghujung zaman Purwa.[5] Pada zaman Purwa (sekitar tahun 750-500 Pramasehi), zaman Klasik (sekitar tahun 480–323 Pramasehi), maupun zaman Helenistis (tahun 323-146 Pramasehi), adegan-adegan wiracarita Homeros dan berbagai adegan mitologis lainnya muncul melengkapi bukti sastrawi yang sudah ada sebelumnya.[3]
Mitologi Yunani telah berkembang seiring waktu demi menyesuaikan dengan perkembangan budaya Yunani itu sendiri, yang mana mitologi, baik secara terang-terangan maupun dalam asumsi-asumsi tak terucapkan, merupakan suatu indeks perubahan. Dalam bentuk sastra mitologi Yunani yang masih tersisa, seperti dapat ditemukan kebanyakan pada akhir perubahan yang progresif, pada dasarnya bersifat politik, seperti yang dikemukakan oleh Gilbert Cuthbertson.[15]
Penghuni Semenanjung Balkan yang lebih awal merupakan masyarakat agraris yang menganut Animisme dan mempercayai keberadaan roh pada setiap unsur alam. Dalam perkembangan selanjutnya, roh-roh yang samar-samar itu diberikan wujud manusia dan terlibat dalam mitologi lokal sebagai dewa.[16] Kemudian muncul suku-suku dari sebelah utara semenanjung Balkan yang datang menyerang. Dalam invasinya, mereka membawa serta kepercayaan baru yang di dalamnya terdapat pantheon dewa-dewa baru, yang didasarkan pada penaklukan, keberanian dalam perang, dan kepahlawanan yang kejam. Dewa-dewa yang telah lebih dulu ada kemudian menyatu dengan dewa sembahan para penyerang yang lebih kuat. Semantara dewa-dewa yang tidak terasimilasi akhirnya menghilang dan tak lagi dianggap penting.[17]
Setelah pertengahan periode Arkais, mitos mengenai hubungan cinta dan seksual antara dewa pria dengan manusia pria muncul lebih sering, mengindikasikan adanya perkembangan yang paralel dengan pejantanan pedagogis (Eros paidikos, παιδικός ἔρως), yang dpercaya telah diperkenalkan sekitar tahun 630 SM. Pada akhir abad kelima SM, para penyair telah memberikan setidaknya satu eromenos (pemuda remaja yang menjadi pasangan untuk hubungan seksual) untuk setiap dewa yang penting kecuali dewa Ares. Kekasih pria juga dimiliki oleh para tokoh-tokoh manusia yang legendaris.[18] Mitos yang telah ada sebelumnya, seperti misalnya hubungan persahabatan antara Akhilles dan Patroklos, juga dijadikan hubungan cinta sesama jenis.[19] Fenomena ini dimulai oleh para penyair Iskandariyah, dan kemudian dilakukan juga oleh para mitografer yang lebih umum di Kekaisaran Romawi awal. Mereka sering mengadaptasi ulang cerita-cerita mitologi Yunani dengan gaya itu.
Pencapaian dibuatnya wiracarita adalah untuk menciptakan siklus cerita dan, sebagai akibatnya, untuk mengembangkan pemahaman baru mengenai kronologi mitologis. Jadi mitologi Yunani terungkap sebagai fase dalam perkembangan dunia dan manusia.[20] Sementara kontradiksi-diri dalam cerita-ceritanya menjadikan tidak mungkin untuk adanya garis waktu yang mutlak, tetapi suatu kronologi yang mendekati itu dapat dilihat. "Sejarah dunia" mitologi yang dihasilkan kemudian, dapat dibagi menjadi tiga atau empat periode yang cakupannya cukup luas, yaitu:
Walaupun zaman para dewa banyak menarik minat para para pelajar kontemporer untuk mempelajari mitologi Yunani, namun para penulis Yunani Kuno pada masa Arkais dan Klasik jelas-jelas lebih menyukai zaman kepahlawanan. Mereka juga membuat suatu kronologi dan catatan pencapaian manusia setelah pertanyaan mengenai bagaimana dunia ini berwujud, terjelaskan. Sebagai contoh, Iliad dan Odisseia yang heroik jauh lebih panjang dan terkenal daripada Theogonia dan Himne Homeros, yang lebih berfokus pada kisah para dewa. Di bawah pengaruh Homeros, "pemujaan pahlawan" berujung pada penataan ulang kehidupan spiritual, yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan ranah kekuasaan para dewa dari ranah kekuasaan para pahlawan yang telah meninggal, serta pemisahan ranah Khthonik dari ranah Olimpus.[22]
Dalam Erga kai hemerai. Hesiodos menggunakan skema Empat Zaman (atau Ras) Manusia. Keempat zaman yang disebutkan olehnya yaitu Zaman Emas, Zaman Perak, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Semua zaman atau ras tersebut merupaan ciptaan dewa yang berbeda-beda, Zaman Emas berlangsung selama kekuasaan Kronos, sedangkan Zaman Perak terjadi di bawah pemerintahan Zeus. Hesiodos kemudian menambahkan Zaman (atau Ras) Pahlawan tepat setelah Zaman Perunggu. Zaman terakhir adalah Zaman Besi, yang merupakan periode kontemporer dimana Hesiodos hidup. Hesiodos menceritakan bahwa Zaman Besi adalah masa yang terburuk. Kejahatan yang ada di dunia dijelaskan melalui mitos Pandora, ketika semua hal buruk, seperti misalnya penyakit, kejahatan, kesengsaraan, dll, yang tersimpan dalam Kotak Pandora berhasil keluar dan menjangkiti umat manusia. Namun di dalam kotak tersebut masih tersisa satu benda yang sulit untuk keluar, yakni harapan.[23] Sementara itu dalam karyanya, Metamorphoses, Ovidius juga mengikuti konsep Hesiodos dan mengisahkan empat zaman yang dialami oleh umat manusia.[24]
Menurut Edith Hamilton, karakteristik mitologi Yunani adalah adanya upaya orang Yunanii kuno untuk mengurangi tingkat kebiadaban dalam mitologi mereka. Selain itu mitologi Yunani tidak banyak berisi hal-hal supranatural; tidak ada penyihir pria dan hanya ada dua orang penyihir wanita, juga tidak ada cerita mengenai hantu yang menakutkan atau astrologi yang mempengaruhi nasib manusia.[25]
"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.[26] Versi yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah filosofis mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia. Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera (Siang).[27] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan Uranus (dewa langit) dan Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus memutuskan bahwa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata satu) dan Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.[28] Gaia marah atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",[27] melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak buahnya.
Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi oleh putranya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati ayahnya, dia takut bahwa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[29] Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.
Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahwa putra dari istri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi Athena yang sudah mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahwa ketika kisah ini muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu kemudian berubah menjadi pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa konflik.
Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahwa theogonia (cerita kelahiran para dewa) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikal—dan menghubungkan banyak kekuasaan di dalamnya. Orfeus, seorang penyair arketipal, juga merupakan seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios, dikisahkan bahwa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para dewa dunia bawah dalam perjalanannya ke dunia bawah. Dalam Himne Homeros untuk Hermes, ketika Hermes menciptakan lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para dewa.[30] Theogonia buatan Hesiodos bukan hanya naskah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, tetapi juga naskah terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para Mousai. Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus, Mousaios, Epimenides, Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada indikasi bahwa Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[31] Namun, informasi mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul pada aspek-aspek yang cukup umum.
Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bagian dari karya-karya ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan baru-baru ini terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah Papirus Derveni, yang kini membuktikan bahwa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi malam) sebagai perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.[32] Disebutkan pula bahwa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.
Para kosmolog filsafat dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang terapung di samudra luas yang disebut Okeanos dan di bagian atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang. Matahari (Helios) mengarungi langit dengan kereta perangnya pada siang hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit, sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin oleh dewa Hades.[33] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.
Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa dan dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para dewa Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus. Gagasan yang membatasi bahwa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa modern.[34] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewa-satir Pan dan para nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa pohon), dan Nereid (nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarga sendiri.[35] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para dewa).[36] Gregory Nagy menganggap bahwa "Himne Homeros adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan dengan Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-beda'.[37]
Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[38] Menurut Edith Hamilton, penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh orang Yunani kuno.[25] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terus-menerus diperbaharui.[39] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut lebih mulia daripada dewa.[25]
Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan, keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.
Sebagian besar dewa diasosiasikan dengan apek tertentu dalam kehidupan manusia. Contohnya, Afrodit adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa orang mati, dan Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[40] Beberapa dewa, misalnya Apollo dan Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan kepribadian yang kompleks, sedangkan yang lainnya, seperti Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios (secara harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi. kuil-kuil yang paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja, yaitu dewa-dewa yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim pula bahwa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan pahlawan (atau setengah dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.
Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam Metamorphoses karya Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik, yaitu cerita cinta, dan cerita hukuman.[41]
Kisah cinta sering kali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut pahlawan. Kisah-kisah yang ada secara umum menunjukkan bahwa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.[42] Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria, seperti misalnya dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahwa dewi Afrodit berhubungan seksual dengan Ankhises dan melahirkan Aineias.[43]
Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman, yaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus mencuri api dari para dewa, ketika Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para dewa, ketika Prometheus atau Likaon menciptakan ritual kurban, ketika Demeter mengajarkan pertanian dan Misteri kepada Triptolemos, atau ketika Marsias menciptakan aulos dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahwa kisah Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".[44] Suatu fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja Thrakia, Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahwa Dionisos adalah seorang dewa. Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berujung kematian.[45] Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia, juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.[46] Dalam drama tragedi lainnya, yaitu Bakkhai gubahan Euripides, dikisahkan bahwa raja Thebes, Pentheus, dihukum oleh Dionisos karena dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para Mainad, sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[47]
Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[48] serta mengulangi tema yang sama, dikisahkan bahwa Demeter berusaha mencari putrinya, Persefone. Dalam pencariannya, Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai balasan atas kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya karena ibu sang anak, Metaneira, melihat Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.[49]
Periode ketika para pahlawan hidup disebut dengan istilah Zaman Pahlawan.[50] Sajak-sajak epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa tertentu, serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; cerita-cerita itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling berurutan".[20]
Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[22] Berlawanan dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, tetapi pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahwa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.[22]
Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar, yaitu ekspedisi para Argonaut, Siklus Thebes dan Perang Troya.[51]
Beberapa sejarawan percaya[52] bahwa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos. Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahwa kisah Herakles adalah alegori untuk perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[53] Sementara yang lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan menunjukkan bahwa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putra dari Zeus dan Alkmene, cucu perempuan Perseus.[54] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema cerita rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou, drama Herakles gubahan Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama Euripides lainnya".[55] Dalam sastra dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering membawa gada. Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno, pertarungannya dengan Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahwa dia adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[56]
Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai Herkules, dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya "Herakleis" untuk orang Yunani.[56] Di Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang, meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta penyelamatan dari marabahaya.[54]
Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur resmi para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria untuk bermigrasi ke Peloponnesos. Hillos, pahlawan eponim dari satu phyle Doria, menjadi putra Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid. Heraklid sendiri merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos, dan Telefos. Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta dan Argos. Menurut legenda, mereka mengklaim bahwa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai "Invasi Doria". Para raja Lydia, dan kelak Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan para Heraklid.[57]
Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerofon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian. Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas dongeng, karena mereka menghadapi monster-monster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur. Petualangan Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.[58]
Satu-satunya wiracarita Helenistik yang masih bertahan, yaitu Argonautika buatan Apollonios dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah), menceritakan tentang pelayaran Iason dan para Argonaut untuk memperoleh Bulu Domba Emas dari tanah Kolkhis yang mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh raja Pelias di istana sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya. Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason dalan kapal Argo untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam rombongan Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur; Atalanta, sang pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri menyaingi Iliad dan Odisseia. Pindaros, Apollonios dan Apollodoros berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok perjalanan Argonaut.[59]
Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Odisseia dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan Odisseus mungkin didasarkan pada cerita Argonaut).[60] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut Hitam.[61] Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan dengan sejumlah legenda lokal. Cerita Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .[62]
Pada periode antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang cukup dikenal karena kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan Atreus dan Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos) terdapat suatu masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.[63]
Siklus Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatan-perbuatan Laios dan Oidipus di Thebes. Jadi, Siklus Thebes adalah serangkaian cerita yang berujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para Epigoni.[64]
Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal. Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal tampaknya mengisahkan bahwa dia melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahwa Iokaste adalah ibunya, dan kemudian menikahi istri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-drama tragedi, misalnya Oidipus Sang Raja gubahan Sofokles serta naskah-naskah mitologi selanjutnya.[65]
Mitologi Yunani berpuncak pada Perang Troya serta peristiwa-peristwia setelahnya. Perang Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troya di Asia Kecil. Dalam karya-karya Homeros, misalnya Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang Troya juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi karena adanya kisah mengenai Aineias, seorang pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troya dihancurkan. Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian menjadi kota Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus. Buku satu dalam Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troya.[66] Sumber lainnya mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang ditulis atas nama Diktis Kretensis dan Dares Phrygios.[67]
Siklus Perang Troya, suatu kumpulan wiracarita mengena Perang Troya, dimulai dengan sejumlah peristiwa yang kemudian berujung pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris dan apel emas Kallistinya, Keputusan Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di Aulis. Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah komando saudara Menelaos, yakni Agamemnon, raja Argos atau Mykenai. Namun pihak Troya tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus menggunakan cara-cara kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang Troya, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan Akhilles, yang merupakan salah satu prajurit Yunani terhebat. Iliad juga menceritakan kematian Patroklos, sahabat dan kekasih pria Akhilles, yang mengabaikan nasihat Akhilles sehingga pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh Hektor, putra sulung Priamos. Akhilles marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan, yaitu Penthesileia, ratu suku Amazon, dan Memnon, raja Ethiopia dan putra Eos, dewi fajar.[68] Akhilles membunuh keduanya, tetapi kemudian Paris berhasil membunuh Akhilles dengan cara memanahnya di bagian tumitnya. Tumit Akhilles adalah satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat menaklukan Troya, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium (patung kayu Athena) dari kuil di Troya. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena, pasukan Yunani membuat sebuah kuda kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya. Sebenarnya Kassandra, putri Priamos, sudah memperingatkan bahwa kuda itu berbahaya, akan tetapi rakyat Troya dipengaruhi oleh Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troya pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai persembahan untuk dewi Athena. Laokoon, seorang pendeta mencoba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troya, sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos dan semua putranya dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual ke berbagai kota di Yunani.
Dua wiracarita kuno, yaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia karya Homeros, menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troya (termasuk pengembaraan Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias diceritakan dalam wiracarita Aeneid.[69] Siklus Perang Troya juga meliputi kisah-kisah petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya Orestes dan Telemakhos.[68]
Perang Troya memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah metope di kuil Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini, yang mengambil tema dari Siklus Troya, mengindikasikan bahwa ksiah itu sangat penting bagi peradaban Yunani Kuno.[69] Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan sastra Eropa posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropa Abad Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan dan cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria, kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benoît de Sainte-Maure (Roman de Troie [Roman Troya, 1154–60]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano [Mengenai Perang Troya, 1183]) menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis kembali versi standar yang mereka temukan dari naskah kuno karya Diktis dan Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti nasihat-nasihat Horatius dan contoh-contoh Virgilus, yaitu mereka menulis kembali sajak Troya dan bukannya menulis sesuatu yang benar-benar baru.[70]
Mitologi merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.[71] Orang Yunani Kuno memandang mitologi sebagai bagian dari sejarah mereka. Mereka menggunakan mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya, permusuhan dan persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita dipercaya sebagai keturunan dewa atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno yang meragukan kebenaran di balik kisah Perang Troya dalam Iliad dan Odisseia. Menurut Victor Davis Hanson, seorang ahli sejarah militer, kolomnis, penulis esai politik dan mantan profesor Klasika, serta John Heath, profesor Klasika di Santa Clara University, pengetahuan yang mendalam yang terdapat pada epos Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai basis akulturasi mereka. Homeros merupakan "pendidikan Yunani" (Ἑλλάδος παίδευσις), dan sajak-sajaknya merupakan "buku".[72]
Setelah kebangkitan filsafat, sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh Thukydides.[73] Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.[8]
Beberapa filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6 SM. Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu sama lain".[74]
Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and Hukum. Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik. Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian, dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato memandang mitos sebagai "obrolan istri-istri tua".[75] Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastra.[8] Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.[72]
Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada gnanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika mereka secara saksama".[73]
Namun, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:[76]
Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu, Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini berada dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,
- Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera meninggal; karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu. (Homeros, Iliad, 18.96)
Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,
- Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung, sebuah beban untuk bumi.
Hanson dan Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[72] Mito-mitos lama dijaga untuk tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.[73]
Lebih sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides sering kali bermain-main dengan tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia menyisipkan sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya diambil, tanpa kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama meragukan mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-keberatan yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Xenokrates, yaitu bahwa para dewa, seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno, secara kasar terlalu antropomorfis.[74]
Selama periode Helenistik, mitologi menjadi pengetahuan yang elit dan penuh dengan prestise dan menunjukkan bahwa pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu. Pada waktu yang sama, rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih disebarluaskan.[77] Mitografer Yunani Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar historis yang aktual untuk makhluk dan peristiwa mitologi.[78] Meskipun karya aslinya, Kitab Keramat, sudah hilang, tetapi banyak dari isinya yang kita ketahui karena telah dicatat oleh Diodoros dan Lactantius.[79]
Merasionalisasi hermeneutika mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa Kekaisaran Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari filsafat Stoik dan Epikurean. Orang-orang Stoik memberikan penjelasan bahwa para dewa dan pahlawan adalah fenomena fisika, sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan rasional bahwa tokoh-tokoh mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada saat yang sama, orang-orang Stoik dan Neoplatonis mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologis, kadang didasarkan pada etimologi Yunani.[80] Melalui pesan Epikureannya, Lucretius berusaha membuang ketakutan takhayul dari pikiran warga Romawi.[81]
Livius juga skeptis terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahwa dia tidak berniat membuat keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).[82] Tantangan untuk bangsa Romawi yang memiliki rasa yang kuat dan apologetis terhadap radisi keagamaan adalah untuk mempertahankan tradisi itu sambil mengakui bahwa itu sering kali menjadi asal mula lahirnya takhayul. Sejarawan Varro, yang menganggap bahwa agama merupakan suatu institusi manusia dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal baik dalam msyarakat, melakukan studi yang teliti dan mempelajari asal muasal kultus keagamaan. Dalam karyanya Antiquitates Rerum Divinarum (yang sudah hilang namun pendekatan umumnya dapat kita perkirakan dari karya Augustinus, Kota Tuhan) Varro berpendapat bahwa sementara orang yang percaya takhayul takut terhadap dewa, tetapi orang yang beragama menganggap para dewa sebagai orang tua mereka.[81] Dalam karyanya, dia membedakan para dewa menjad tiga jenis:
Akademisi Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia menyatakan secara tegas bahwa mitos tak punya tempat dalam filsafat.[83] Cicero juga umumnya meremehkan mitos, tetapi, seperti Varro, dia berempati karena dia mendukung agama negara dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelas sosial yang dipengaruhi oleh rasionalisme ini.[82] Cicero menegaskan bahwa tidak seorangpun (bahkan orang lanjut usia dan anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk mempercayai teror Hades atau keberadaan Skilla, kentaur, atau berbagai makhluk campuran lainnya,[84] namun, di sisi lain, Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh mengenai karakter orang-orang yang mudah percaya pada takhayul.[85] De Natura Deorum adalah ikhtisar paling komprehensif mengenai jalan pikiran Cicero.[86]
Pada masa Romawi kuno, lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi (penggabungan atau pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal ini terjadi karena bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan tradisi mitologi Yunani kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi mengadopsi ciri-ciri dewa Yunani yang menjadi padanan mereka.[82] Dewa Zeus dan Yupiter merupakan salah satu contoh tumpang tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan dua tradisi mitologi, bangsa Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah Timur. Hal ini yang semakin memperkuat proses sinkretisasi.[87] Sebagai contohnya, kultus pemujaan matahari diperkenalkan di Romawi setelah kaisar Aurelianus sukses melaksanakan kampanye militer di Suriah. Dewa dari Asia, yakni Mithras (yang dapat disebut sebagai personifikasi matahari) dan Ba'al dipadukan dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu dewa tunggal yang disebut Sol Invictus, yang memiliki banyak atribut campuran dan dipuja dengan ritus gabungan.[88] Apollo kemungkinan semakin sering diidentikkan dalam agama dengan Helios atau bahkan Dionisos, tetapi naskah-naskah mengenainya jarang memperlihatkan perkembangan semacam ini. Ini barangkali menunjukkan bahwa mitologi dalam sastra semakin lama semakin tidak berkaitan dengan kegiataan keagamaan yang sesungguhnya.
Kumpulan sajak Saturnalia karya Macrobius dan Himne Orfik yang tersisa pada masa sekarang juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme dan tren sinkretisasi. Himne Orfik merupakan seperengkat komposisi puitis pra-Klasik yang diatribusikan atas nama Orfeus. Orfeus sendiri merupakan tokoh dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya, meskipun dihubungan dengan Orfeus, tetapi sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh beberapa penyair berbeda, dan mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropa prasejarah.[89] Sementara itu tujuan dari dibuatnya Saturnalia adalah untuk menyampaikan kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh oleh Macrobius dari hasil studinya, meskipun banyak penggambaran para dewa telah dipengaruhi oleh teologi dan mitologi Mesir dan Afrika Utara (yang juga mempengaruhi penafsiran Virgilus). Dalam Saturnalia, kembali bermunculan komentar-komentar mitologi yang dipengaruhi oleh orang-orang Euhemeris, Stoik, dan Neoplatonis.[80]
Munculnya pemahaman modern mengenai mitologi Yunani dianggap oleh para sejarawan sebagai reaksi ganda pada akhir abad kedelapan belas melawan "sikap tradisional rasa permusuhan Kristen", yang mana sikap agama Kristen, yang mengganggap bahwa mitos merupakan suatu "kebohongan" atau fabel, telah dipertahankan.[90] Di Jerman, sekitar tahun 1795, berkembang rasa ketertarikan terhadap Homeros dan mitologi Yunani. Di Göttingen, Johann Matthias Gesner mulai membangkitkan kembali studi mitologi Yunani, sedangkan penerusnya, Christian Gottlob Heyne, bekerja dengan Johann Joachim Winckelmann, dan mendirikan dasar bagi riset mitologi baik di Jerman maupun di tempat-tempat lainnya.[91]
Perkembangan filologi perbandingan pada abad ke-19, bersama dengan penemuan etologis pada abad ke-20, menjadikan munculnya ilmu mitos. Sejak masa Romantik, semua studi mitos telah menjadi ilmu perbandingan. Wilhelm Mannhardt, Sir James Frazer, dan Stith Thompson menggunakan pendekatan perbandingan untuk mengumpulkan dan mengklasifikasikan tema-tema folklor dan mitologi.[92] Pada tahun 1871 Edward Burnett Tylor menerbitkan karyanya, Primitive Culture, yang di dalamnya dia menerapkan metode perbandingan serta berusaha untuk menjelaskan asal mula dan perkembangan agama.[93] Prosedur Tylor yang secara bersama-sama menarik materi kebudayaan, ritual, dan mitos dari kebudayaan yang berbeda-beda berpengaruh pada Carl Jung dan Joseph Campbell. Max Müller menerapkan ilmu baru mitologi perbandingan dalam studi mitos, yang mana dia menemukan sisa-sisa yang terdistorsi dari pemujaan alam bangsa Arya. Bronisław Malinowski menekankan cara mitos memenuhi fungsi-fungsi sosial yang umum. Sementara Claude Lévi-Strauss dan para strukturalis lainnya membandingkan hubungan formal dan pola-pola pada mitos di seluruh dunia.[92]
Sigmund Freud memperkenalkan konsepsi biologis dan transhistoris mengenai manusia serta pendangan terhadap mitos sebagai suatu ekpsresi dari gagasan yang ditekan. Tafsir mimpi merupakan dasar dari interpretasi mitos Freud dan konsep Freud mengenai cara kerja mimpi mengenali pentingnya hubungan kontekstual untuk menafsirkan unsur individual apapun dalam sebuah mimpi. Menurut Freud, teorinya ini akan menemukan poin yang penting dalam penyesuaian antara pendekatan strukturalis dan psikoanalitis terhadap mitos.[94] Carl Jung memperluas pendekatan psikologis dan transhistoris itu dengan teorinya mengenai "alam bawah sadar kolektif" dan arketipe (pola-pola "arkais" yang diturunkan), sering kali diulang-ulang dalam mitos, yang muncul dari itu.[3] Menurut Jung, "unsur struktural pembentuk mitos pasti ada di alam bawah sadar".[95] Membandingkan metodologi Jung dengan teori Joseph Campbell, Robert A. Segal menyimpulkan bahwa "untuk menafsirkan mitos, Campbell secara sederhana mengidentifikasi arketipe di dalamnya. Interpretasi terhadap Odisseia, misalnya, dapat menunjukkan bagaimana kehidupan Odisseus menyesuaikan diri dengan pola kepahlawanan. Berlawanan dengan Jung, yang berpendapat bahwa identifikasi arketipe hanya semata-mata langkah pertama dalam menfasirkan mitos".[96] Karl Kerényi, salah satu pendiri studi modern mengenai mitologi Yunani, meninggalkan pandangan awalnya tentang mitos, supaya dapat menerapkan teori Jung pada mitologi Yunani.[97]
Ada beragam teori modern mengenai asal usul mitologi Yunani. Menurut Teori Kitab, semua legenda mitologi berasal dari cerita-cerita dalam naskah kuno, meskipun fakta nyata telah disamarkan dan dimodifikasi.[98] Menurut Teori Sejarah semua orang yang disebutkan dalam mitologi dulunya merupakan manusia nyata, dan legenda mengenai mereka merupakan tembahan pada masa selanjutnya. Jadi cerita Aiolos muncul dari fakta nyata bahwa Aiolos merupakan penguasa beberapa pulau di Laut Tyrrhenia.[99] Teori Alegori menyatakan bahwa semua mitos kuno bersifat simbolis dan merupakan alegori atau kiasan. Sementara Teori Fisik menyebutkan gagasan bahwa unsur-unsur semacam udara, api, dan air, pada awalnya merupakan obejk pemujaan relijius, sehingga dewa-dewa utama merupakan personifikasi dari kekuatan alam tersebut.[100] Max Müller berupaya untuk memahami bentuk keagamaan India-Eropa dengan cara melacaknya kembali pada banga Arya, perwujudan "asli"nya. Pada tahun 1891, dia menyebutkan bahwa "penemuan terpenting yang pernah dibuat pada abad kesembilan belas dengan rasa hormat pada sejarah kuno umat manusia ... adalah persamaan sederhana ini: Dyaus-pitar Sansakerta = Zeus Yunani = Yupiter Latin = Tyr Nordik Kuno".
Dalam kasus lainnya, kedekatan dalam hal karakter dan fungsi mengindikasikan adanya pewarisan umum, namun kurangnya bukti linguistik menjadikannya sulit untuk dibuktikan, seperti dalam perbandingan antara Uranus (Yunani) dengan Varuna (Sansakerta) atau Moirai (Yunani) dengan Norn (Nordik).[101] [102]
Di pihak lain, arkeologi dan mitografi telah mengungkapkan bahwa bangsa Yunani terilhami oleh beberapa peradaban di Asia Kecil dan Timur Dekat. Adonis tampaknya merupakan padanan versi Yunani dari "dewa yang mati" dari daerah Timur Dekat, yang lebih jelas dalam kultus daripada dalam mitos. Dewi Kibele berakar dari kebudayaan Anatolia, yang juga merupakan tempat munculnya ikonografi Afrodit dari dewi-dewi Semit. Ada juga kemungkinan kesetaraan antara generasi dewa terawal (Khaos dan anak-anaknya) dengan Tiamat dalam Enuma Elish.[103] Menurut Meyer Reinhold, "konsep kedewaan Timur, yang melibatkan pergantian kekuasaan melalui kekerasan dan konflik antargenerasi demi kekuasaan, menemukan jalan mereka ... ke dalam mitologi Yunani".[104]
Selain berasal dari India-Eropa dan Timur Dekat, beberapa sejarawan juga mengajukan pendapat bahwa mitologi Yunani dipengaruhi pula oleh peradaban pra-Hellenik, di antaranya peradaban di Kreta, Mykenai, Pylos, Thebes dan Orkhomenos.[105] Para sejarawan agama terkagum-kagum oleh sejumlah konfigurasi kuno mengenai mitos yang berkaitan dengan Kreta (Zeus dan Europe, Banteng Kreta, Minos, Daidalos dan Ikaros, Minotaur, dll.). Profesor Martin P. Nilsson menyimpulkan bahwa semua mitos besar Yunani Klasik terikat pada pusat-pusat peradaban Mykenai dan berasal dari masa prasejarah.[106] Namun, menurut Burkert, ikonografi dari Periode Istana Kreta hanya memberikan sedikit informasi yang dapat mendukung teori ini.[107]
Agama Kristen yang menyebar secara luas tidak menghentikan kepopuleran mitologi Yunani. Dengan ditemukannya kembali antikuitas klasik pada Abad Renaisans, sajak-sajak Ovidius memberi banyak pengaruh terhadap para penyair, penulis drama, musikus, dan seniman barat.[108] Sejak tahun-tahun awal Renaisans, para seniman semacam Leonardo da Vinci, Michaelangelo Buonarroti, dan Raffaello Sanzio, banyak menggambarkan tema-tema Pagan mitologi Yunani bersama dengan tema-tema Kristen, yang lebih konvensional.[108] Melalui bahasa Latin dan karya-karya Ovidius, mitologi Yunani mempengaruhi para penyair Abad Pertengahan dan Renaisans, misalnya Petrarca, Giovanni Boccaccio, dan Dante Alighieri di Italia.[3]
Di Eropa Utara, mitologi Yunani tidak memberi pengaruh dalam seni visual sebesar di daerah Eropa lainnya. Pengaruh mitologi Yunani di Eropa Utara lebih terlihat dalam sastra. Di Inggris, mitologi Yunani dalam sastra dipelopori oleh Geoffrey Chaucer dan John Milton, dan terus berlanjut melalui William Shakespeare sampai Robert Bridges pada abad ke-20. Jean Racine di Prancis dan Johann Wolfgang von Goethe di Jerman membangkitkan kembali drama Yunani, dan mengerjakan ulang mitos-mitos kuno.[108] Meskipun pada Zaman Pencerahan pada abad ke-18 muncul reaksi melawan mitologi Yunani yang menyebar di seluruh Eropa, mitologi Yunani terus menjadi sumber materi untuk para penulis drama, termasuk mereka yang menulis libretto untuk banyak opera buatan George Frideric Handel dan Wolfgang Amadeus Mozart.[109]
Pada akhir abad ke-18, romantisisme memicu gerakan antusiasme terhadap segala hal tentang Yunani Kuno, termasuk mitologi Yunani. Di Britania, terjemahan baru drama tragedi Yunani serta karya-karya Homeros telah mengilhami penyair kontemporer, seperti Alfred Lord Tennyson, John Keats, Byron dan Percy Bysshe Shelley, juga para pelukis, misalnya Lord Leighton dan Lawrence Alma-Tadema.[110] Christoph Willibald Gluck, Richard Strauss, Jacques Offenbach dan banyak lainnya memasukkan tema-tema mitologi Yunani ke dalam musik.[3] Penulis Amerika pada abad ke-19, di antaranya Thomas Bulfinch dan Nathaniel Hawthorne, berpendapat bahwa pembelajaran mitos klasik adalah penting bagi pemahaman sastra Inggris dan Amerika.[111] Pada masa yang lebih modern, tema-tema mitologi Yunani juga digunakan oleh para penulis drama seperti Jean Anouilh, Jean Cocteau, dan Jean Giraudoux di Prancis, Eugene O'Neill di Amerika, serta T. S. Eliot di Britania dan oleh para novelis seperti James Joyce dan André Gide.[3]
<ref>
tidak sah; nama "Miles7" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
<ref>
tidak sah; nama "Raffan-Barket205" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
|chapter=
(bantuan)