Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Bapa Apostolik adalah sebutan bagi pakar-pakar teologi Kristen di jajaran para Bapa Gereja yang hidup pada abad pertama dan abad ke-2 Masehi, yang dipercaya kenal dengan beberapa rasul Kristus secara pribadi, atau sangat dipengaruhi ajaran dan keteladanan rasul-rasul tersebut.[1] Meskipun beredar luas pada masa-masa awal Kekristenan, karya-karya tulis mereka tidak dimasukkan ke dalam kanon Kitab Suci Perjanjian Baru. Banyak di antara karya-karya tulis tersebut disusun pada kurun waktu yang sama dan di lokasi geografis yang sama dengan karya-karya sastra Gereja Purba lainnya yang menjadi bagian dari Kitab Suci Perjanjian Baru. Beberapa karya tulis yang dihasilkan para Bapa Apostolik tampaknya dihargai semulia kitab-kitab Perjanjian Baru.
Istilah "Bapa Apostolik" baru mulai dipakai sebagai sebutan bagi pujangga-pujangga tersebut pada abad ke-17, dan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka dianggap mewakili generasi umat Kristen yang berkontak langsung dengan kedua belas rasul. Sejauh yang dapat diketahui, istilah "Bapa Apostolik" pertama kali digunakan dalam bentuk "Para Bapa Apostolikal" (bahasa Inggris: Apostolical Fathers) oleh William Wake pada tahun 1693, sewaktu menjabat sebagai padri kapelan istana Inggris pada masa pemerintahan Raja William dan Ratu Mary.[2] Menurut Catholic Encyclopedia, asal-usul istilah "Bapa Apostolik" dapat dilacak sampai ke judul buku karangan Jean-Baptiste Cotelier yang terbit di Paris pada tahun 1672, yaitu "SS. Patrum qui temporibus apostolicis floruerunt opera" (Buah Karya Bapa-Bapa Suci Yang Berkiprah Pada Zaman Apostolik). L. J. Ittig menerbitkan kembali buku ini pada tahun 1699 dengan judul "Bibliotheca Patrum Apostolicorum" (Taman Pustaka Para Bapa Apostolik).
Sejarah pemakaian istilah "Bapa Apostolik" untuk menggelari pujangga-pujangga tersebut dipaparkan Joseph Lightfoot di dalam kumpulan karya tulis para Bapa Apostolik hasil terjemahannya yang terbit pada tahun 1890, sebagai berikut:[3]
...Ungkapan [Bapa Apostolik] itu sendiri, sejauh pengamatan saya, relatif baru muncul dewasa ini. Asal-usulnya, atau paling tidak pemakaiannya yang meluas, mungkin sekali berpangkal pada gagasan untuk mengumpulkan sisa-sisa karya sastra peninggalan orang-orang yang berkiprah persis sesudah zaman para rasul, dan yang oleh karena itu diduga sebagai orang-orang yang berguru secara langsung kepada para rasul. Gagasan ini pertama kali terwujud di dalam buku yang disusun Cotelier pada separuh akhir abad ketujuh belas (1672 M). Kumpulan karya tulis semacam ini memang mustahil diwujudkan beberapa tahun sebelumnya. Pada paruh pertama abad itu, baru pertama kali dicetak surat-surat Klemens (1633 M), surat Barnabas (1645 M), surat Polikarpus dalam bahasa Yunani sebagaimana aslinya (1633 M), dan surat-surat Ignasius dalam bentuk aslinya (1644, 1646 M). Oleh karena itu bahan-bahan yang tersedia sudah barang tentu terlalu sedikit jumlahnya untuk memungkinkan usaha semacam itu terwujud pada masa-masa sebelumnya. Meskipun demikian, pada halaman judul buku, bukan ungkapan tersebut yang dipakai Cotelier, melainkan ungkapan yang cukup mendekati, yakni SS. Patrum qui temporibus Apostolicis floruerunt opera; tetapi penyunting berikutnya, [Thomas] Ittig (1699), memakai judul Patres Apostolici, dan sejak saat itulah ungkapan tersebut menjadi umum.
Bagian dari seri |
Apokrifa Perjanjian Baru |
---|
Portal Kristen |
berikut ini adalah karya-karya tulis yang lazim digolongkan ke dalam kumpulan karya tulis para Bapa Apostolik:[4]
Semua atau sebagian besar dari karya-karya tulis di atas ditulis dalam bahasa Yunani. Terjemahan-terjemahannya yang terdahulu ke dalam bahasa Inggris tersaji daring di situs web Christian Classics Ethereal Library, seri Ante-Nicene Fathers.[5] Banyak sarjana pengkaji Gereja Purba juga sudah menerbitkan terjemahan karya-karya tulis para Bapa Apostolik ke dalam bahasa Inggris, antara lain Joseph Lightfoot, Kirsopp Lake, Bart D. Ehrman, dan Michael W. Holmes.[keterangan 2] Terjemahan pertama karya-karya tulis para Bapa Apostolik ke dalam bahasa Inggris diterbitkan pada tahun 1693, oleh William Wake (1657–1737), yang saat itu menjabat sebagai rektor paroki Westminster St James dan kemudian hari menjadi Uskup Agung Canterbury (tahun 1716).[keterangan 3] Terjemahan ini adalah satu-satunya terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang tersedia sampai dengan pertengahan abad ke-19. Sesudah terjemahan ini diterbitkan, ditemukan lagi banyak naskah karya tulis para bapa Gereja yang lebih bagus kondisinya.[keterangan 4]
Berikut ini adalah edisi-edisi teks Yunani:
Surat Klemens yang pertama (ca. 96 M)[6] disalin serta dibacakan di mana-mana, dan umum dianggap sebagai surat Kristen tertua di luar Perjanjian Baru. Surat ini sangat panjang, dua kali lebih panjang daripada Surat Ibrani,[keterangan 5] dan menunjukkan kedalaman pengetahuan penulis akan banyak kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Surat ini berulang kali menyebut Perjanjian Lama sebagai kitab suci[7] dan memuat banyak rujukan kepada Kitab Yudit, sehingga menunjukkan bahwa Kitab Yudit lumrah dipakai atau dikenal orang pada zamannya. Di dalam surat ini, Klemens mengimbau umat Kristen Korintus untuk memelihara kerukunan dan ketertiban. Menurut Tradisi Gereja, penulisnya adalah Klemens, Uskup Roma, dan konsensus para sarjana sangat mendukung keasliannya.[8] Menurut daftar-daftar yang dimiliki Gereja Perdana, Klemens adalah Uskup Roma yang kedua atau ketiga,[9][10][11][keterangan 6] meskipun "tidak ada bukti keberadaan jawatan uskup monarkis di Roma sedini itu".
Dari generasi ke generasi, Surat Klemens yang kedua dipercaya sebagai surat yang ditulis Klemens, tetapi sekarang sudah umum dianggap baru ditulis sesudah masa hidup Klemens, yakni antara tahun 140 sampai 160, sehingga mustahil merupakan karya tulis Klemens yang wafat pada tahun 99.[12] Jika surat Klemens yang pertama adalah sepucuk surat, maka surat Klemens yang kedua tampaknya adalah hasil transkripsi homili atau khotbah, sehingga merupakan kotbah Kristen tertua yang masih lestari di luar Perjanjian Baru.
Ignasius dari Antiokhia (ca. 35–110), yang juga dikenal dengan nama Teoforus (artinya "Pemanggul Allah")[13] adalah Uskup Antiokhia.[14] Ignasius mungkin kenal dekat dengan Rasul Yohanes, dan pemikirannya tentu dipengaruhi tradisi pengajaran yang berkaitan dengan rasul tersebut.[15] Dalam perjalanannya menjemput ajal sebagai martir di kota Roma, Ignasius menulis serangkai surat yang terlestarikan sebagai contoh dari teologi umat Kristen perdana. Topik-topik penting yang dikemukakan di dalam surat ini mencakup eklesiologi, sakramen, peran uskup,[16] dan hakikat hari Sabat.[17] Ignasius dengan jelas memaparkan hierarki Gereja lokal yang terdiri atas uskup, presbiter, serta diakon, dan mengaku pernah berceramah di beberapa Gereja lokal atas ilham Roh Kudus. Ignasius adalah orang kedua sesudah Klemens yang menyebut surat-surat Paulus di dalam karya tulisnya.
Polikarpus dari Smirna (ca. 69–ca. 155) adalah Uskup Smirna (sekarang Izmir, Turki). Menurut muridnya, Ireneus, Polikarpus "tidak hanya diajar rasul-rasul dan sudah bercakap-cakap dengan banyak orang yang pernah melihat Tuhan, tetapi juga ditetapkan rasul-rasul menjadi uskup di Asia dan di Gereja Smirna",[18] sementara ia sendiri, saat remaja, pernah diceritai Polikarpus "tentang kedekatannya dengan Yohanes dan orang-orang lain yang pernah melihat Tuhan".[19] Tokoh yang disebut Yohanes ini mungkin adalah Yohanes bin Zebedeus, yang menurut tradisi adalah penulis Injil yang keempat, dan mungkin pula Yohanes Presbiter.[20] Pandangan tradisional sejalan dengan keterangan Eusebius bahwa rasul tempat Polikarpus berguru adalah Yohanes Penginjil, dan bahwasanya penulis Injil Yohanes ini adalah orang yang sama dengan Rasul Yohanes. Polikarpus berusaha tetapi gagal membujuk Anisetus, Uskup Roma, untuk mengupayakan agar Gereja Latin merayakan Paskah pada tanggal 14 Nisan, sama seperti umat Kristen di Timur. Polikarpus menolak saran Anisetus agar Gereja Timur memakai penanggalan yang digunakan Gereja Barat ketika itu. Pada tahun 155, warga Smirna menuntut Polikarpus dihukum mati selaku pemeluk agama Kristen, dan Polikarpus pun gugur menjadi martir. Di dalam riwayat hidup Polikarpus diceritakan bahwa ia dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup, tetapi api enggan membakar dirinya, sehingga Polikarpus akhirnya tewas sesudah ditikam dengan tombak. Luka tikaman di tubuh Polikarpus mengucurkan begitu banyak darah sehingga memadamkam api di sekelilingnya. Polikarpus dihormati sebagai santo di Gereja Katolik maupun Gereja Ortodoks Timur.
Didakhe (bahasa Yunani: Διδαχή, Didakhé, artinya "pengajaran")[21] adalah sebuah risalah Kristen perdana, diperkirakan ditulis antara tahun 50 sampai akhir abad pertama,[22] dan berisi petunjuk-petunjuk bagi jemaat Kristen. Karya tulis yang sebagian isinya mungkin dapat disebut sebagai katekismus tertulis pertama ini terdiri atas tiga bagian utama yang membahas pendidikan agama Kristen, ritual-ritual Kristen seperti pembaptisan dan Ekaristi, serta organisasi Gereja. Beberapa Bapa Gereja menganggap Didakhe sebagai bagian dari kanon Perjanjian Baru,[23] tetapi dianggap beberapa Bapa Gereja lainnya sebagai karya tulis gadungan (nonkanonik).[24] Para sarjana mengetahui keberadaan Didakhe dari rujukan-rujukan di dalam karya-karya tulis lain, tetapi kitab Didakhe itu sendiri sudah hilang, dan baru ditemukan kembali pada tahun 1873.
Kitab Gembala Hermas sangat populer di dalam Gereja perdana, bahkan beberapa Bapa Gereja menganggapnya sebagai kitab suci, misalnya Ireneus dan Tertulianus. Kitab ini ditulis pada abad ke-2 di kota Roma dalam bahasa Yunani Koine, dan sangat berwibawa pada abad ke-2 dan abad ke-3. Karya tulis ini memuat 5 penglihatan, 12 amanat, dan 10 perumpamaan. Gembala Hermas mengandalkan alegori dan secara khusus menyoroti Gereja, dengan mengimbau umat beriman untuk bertobat dari dosa-dosa yang sudah menggerogoti Gereja.