Type a search term to find related articles by LIMS subject matter experts gathered from the most trusted and dynamic collaboration tools in the laboratory informatics industry.
Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, ideologi, budaya, sejarah, dan tujuan.[1] Mereka umumnya dianggap memiliki asal usul keturunan yang sama.[2] Disebutkan juga sebagai "kelompok etnik yang sepenuhnya termobilisasi atau terlembaga".[3] Sebagian dari bangsa disebut setara dengan kelompok etnik (lihat nasionalisme etnik dan negara bangsa) dan beberapa juga dianggap setara dengan sebuah afiliasi konstitusi sosial dan politik (lihat nasionalisme sipil dan multikulturalisme).[3] Sebuah bangsa didefinisikan juga sebagai komunitas politik-budaya yang telah sadar akan otonomi, persatuan, dan kesamaan kepentingan.[4] Dalam hukum internasional bangsa adalah terminologi dari negara berdaulat.
Peneliti politik dari Amerika Serikat bernama Ben Anderson mencirikan bangsa sebagai "komunitas terbayang",[5] dan akademikus dari Australia bernama Paul James (akademikus) melihatnya sebagai "komunitas abstrak".[6] Bangsa adalah komunitas terbayang dalam arti bahwa kondisi material ada untuk memperluas bayangan dan hubungan bersama dan secara obyektif impersonal, bahkan jika setiap individu di negara itu mengalami diri mereka sendiri sebagai bagian subyektif dari bagian kesatuan dengan orang lain. Untuk hampir semua bagian, anggota dari sebuah bangsa tetap menjadi orang tidak kenal bagi satu sama lain dan kemungkinan tidak akan pernah bertemu.[7] Oleh karena frasenya, "bangsa yang asing" digunakan penulis seperti jurnalis Amerika Serikat Vance Packard. Jadi bangsa adalah realitas intersubjektivitas dan hadir semata-mata dalam pikiran bayangan masyarakat. Bahkan jika seseorang akhirnya percaya bahwa bangsa itu tidak ada, bangsa akan tetap tidak terancam, sebab bangsa bukan realitas subjektivisme yang hadir dalam pikiran satu orang. Hanya jika banyak sekali orang yang percaya bahwa bangsa itu tidak ada dan mengakhiri validitasnya membuat bangsa menjadi tidak ada.[8][9][10]
Definisi bangsa menurut para ahli.[11]
Bangsa adalah sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah, serta cita-cita yang sama.[12]
Bangsa merupakan sekelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya bangsa.[11]
Bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat.[11]
Bangsa itu terjadi karena adanya persamaan ras, bahasa, adat istiadat dan Agama yang menjadi pembeda antara bangsa satu dan bangsa lain.[13]
Kata nation pertama kali muncul dari bahasa Perancis Kuno yaitu nacion – yang berarti kelahiran (naissance), "tempat kelahiran" -, yang didapat awalnya dari bahasa Latin yaitu natio (nātĭō) yang mempunyai arti literal yaitu kelahiran.[14]
Kamus hukum Black menjelaskan arti bangsa yaitu:
nation, n. (14c) 1. Sekelompok manusia yang berjumlah banyak yang mempunyai kesamaan asal, bahasa dan tradisi yang kemudian mengkonstitusikan entitas politik. constituting a political entity. Saat sebuah bangsa secara kebetulan berdampingan dengan negara, karena itu disebut juga dengan istilah nation-state atau bangsa dan negara.
...
2. Sebuah himpunan manusia yang hidup di dalam area teritori yang sudah terdefinisi dan terorganisir di bawah sebuah pemerintahan yang independen; sebuah negara yang memiliki kedaulatan dalam berpolitik.[15]
Kata "nation" terkadang digunakan sebagai persamaan kata untuk:
Jadi frase "nations of the world" bisa jadi direferensikan kepada tingkat tertinggi dari pemerintahan (sama seperti nama untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa), berbagai teritori geografis yang besar, atau berbagai grup etnis yang besar. Tergantung pada arti kata “nation” digunakan kapan, arti “Negara Kebangsaan” sendiri dapat digunakan juga untuk membedakan wilayah negara yang lebih besar dari Negara kota di negara tersebut, atau juga membedakan negara yang memiliki Negara Multinasional dari mereka yang memiliki satu grup etnis.
Dalam bukunya yang berjudul Kingdoms and Communities in Western Europe 900-1300, Susan Reynolds menyatakan bahwa banyak kerajaan abad pertengahan Eropa adalah bangsa-bangsa yang sudah dapat dikatakan modern. Adrian Hastings dalam bukunya yang berjudul The Construction of Nationhood:[16] ethnicity, Religion and Nationalism menyatakan bahwa Raja Inggris Anglo Saxon memobilisasi kebangsaan penduduk dalam kesulitan mereka mengusir Norse invasions. Dia berargumen bahwa Alfred yang Agung, khususnya pada nasionalisme biblikal, dengan menggunakan bahasa alkitabiah di dalam pasal hukum dan pada saat kekuasaanya buku Alkitab pilihan ditranslasikan menjadi bahasa Bahasa Inggris Kuno untuk menginspirasi masyarakat kebangsaan inggris untuk melawan penjajah Norse. Hastings berargumen untuk pembaharuan untuk kebangsaan inggris (mengikuti hiatus setelah Penaklukan Inggris oleh Norman) awal dari peristiwa Alkitab Wycliffe, kemudian membuat nasionalisme Inggris dan bangsa Inggris berdiri sejak itu.[17]
Salah satu contoh lain dari Bangsa abad pertengahan ialah Deklarasi Arboath, dokumen yang ditulis oleh bangsawan Skotlandia dan klerus pada saat Perang Kemerdekaan Skotlandia. Tujuan dari dokumen ini adalah untuk mendomenstrasikan kepada Paus, bahwa Skotlandia adalah sebuah bangsa yang berdiri sendiri, dengan budaya yang unik, sejarah dan bahasa dan juga merupakan bangsa yang lebih tua dari Inggris. Dokumen menjustifikasi perbuatan dari Robert Bruce dan satuannya pada saat menolak penjajahan dan untuk mencela penjajahan Inggris dan rekognisi Independensi Skotlandia dalam bagian dari mahkota Inggris. Dokumen ini dilihat oleh masyarakat luas sebagai contoh awal dari kedua Nasionalisme Skotlandia dan Teori Kedaulatan Rakyat.
Anthony Kaldellis dalam Hellenism in Byzantium (2008) itu disebut juga Kekaisaran Romawi Timur adalah Kekaisaran Roma yang ditransformasi menjadi negara kebangsaan pada abad pertengahan.
Azar Gat adalah satu dari banyak sarjana yang beragurmen bahwa Cina, Korea dan Jepang adalah bangsa pada waktu Abada Pertengahan Eropa.[18]
Awal penggunaan kata nation, sebagai natio, muncul di Universitas Abad Pertengahan [19] untuk menjelaskan rekan-rekan kolega di universitas atau pelajar, diantara semua pada Universitas Paris, siapa yang terlahir masih dalam upah, berbicara bahasa yang sama dan diprediksi untuk memerintah berdasarkan hukum yang familiar. Pada 1383 dan 1385, selama melakukan studi teologi di Paris, Jean Gerson terpilih dua kali sebagai jaksa bagi natio dari Perancis. Universitas Charles di Praha menadopsi divis pelajar menjadi nationes: mulai dari pembukaan di tahun 1349 the studium generale yang mengandung unsur Bohemian, Bavarian, Saxon, dan Silesian nations.
Dengan cara yang serupa, the nationes diasingkan oleh Kesatria Hospitaller, yang mengatur di Rodos hostels dikenal juga dengan nama ”where foreigners eat and have their places of meeting, each nation apart from the others, and a Knight has charge of each one of these hostels, and provides for the necessities of the inmates according to their religion”, tertullis oleh penjelalajah Spanyol Pedro Tafur pada tahun 1436.[20]
Lihat pula: Negara Kebangsaan
Dalam artikelnya yang berjudul "The Mosaic Moment: An Early Modernist Critique of the Modernist Theory of Nationalism", Philip S. Gorski berpendapat bahwa bangsa modern yang pertama kali terbentuk adalah Republik Belanda yang dibangun oleh politik nasionalisme modern yang berakar dari nasionalisme biblikal.[21] Pada tahun 2013, dalam artikelnya yang berjudul "Biblical nationalism and the sixteenth-century states", Diana Muir Appelbaum memperluas argumen Gorski untuk menerapkan bangsa yang baru, Protestan dan pada abad keenam belas.[22] Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Anthony D. Smith dalam bukunya yang berjudul “Chosen Peoples: Sacred Sources of National Identity and Myths and Memories of the Nation”.[23]
Dalam bukunya yang berjudul "Nationalism: Five Roads to Modernity", Liah Greenfeld memberikan argumen bahwa nasionalisme ditemukan di Inggris pada tahun 1600. Menurut Greenfeld, Inggris merupakan bangsa pertama yang ada di dunia.[24][25]
Pada akhir abad ke 20, banyak ahli ilmu sosial berargumen bahwa ada 2 tipe bangsa, yaitu nasionalisme sipil, sebagai contoh adalah Perancis dan nasionalisme etnis, sebagai contoh adalah Jerman. Tradisi warga Jerman dikonseptualisasi oleh filsuf awal abad 19 seperti Johann Gottlieb Fichte, dan ditunjukan kepada manusia yang memiliki kesamaan bahasa, agama, budaya, sejarah dan kelompok etnis, itulah pembeda mereka dari manusia dari bangsa lain.[26] Ini adalah visi, diantara lain adalah Ernest Renan.[27]
Analisis masa kini cenderung berdasarkan studi sosio-sejarah tentang pembangunan sentimen identitas nasional, mencoba untuk menindetifikasi individu dan mekanisme kolektif, baik sadar atau tidak, sengaja atau tidak. Menurut beberapa dari studi ini, dapat dilihat bahwa Negara (pemerintahan) sering kali mempunyai peran yang signifikan, dan komunikasi, terutama dari segi ekonomi, juga mempunyai signifikasi yang tinggi.[27]
Lihat pula: Benturan peradaban, Negara kota, Komunitas maya, suku digital, Kewarganegaraan global, mobilitas geografis, Transnasionalisme, pagar geografis, Desentralisasi, Penyelesaian masalah dan Pengembangan budaya.
Ada sebuah debat yang sedang berlangsung mengenai masa depan sebuah bangsa - mengenai apakah kerangka kerja ini akan tetap bertahan atau ada alternatif lain yang dapat dikembangkan.[28]
Teori benturan peradaban sangat kontras dengan teori kosmopolitan mengenai dunia yang semakin terhubung dan tidak lagi membutuhkan negara kebangsaan. Menurut ilmuwan politik Samuel Huntington, identitas budaya dan agama dari sebuah masyarakat akan menjadi sumber utama konflik di dunia pasca- Perang Dingin.
Teori ini pertama kali dirumuskan pada kuliah tahun 1992 di American Enterprise Institute [29] yang kemudian dikembangkan pada tahun 1993 dalam artikel Foreign Affairs yang berjudul "The Clash of Civilizations?". Hal tersebut dilakukan dalam rangka memberi respon pada buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama yang berjudul The End of History and the Last Man.[30] Huntington lalu mengembangkan tesisnya pada buku yang berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order" pada tahun 1996.
Huntington mulai memikirkan teorinya dengan melakukan beberapa survei berbeda mengenai sifat politik global pada pasca- Perang Dingin. Beberapa ahli teori berargumen bahwa hak asasi manusia, demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas menjadi satu-satunya alternatif ideologis yang tersisa bagi negara-negara di dunia pasca-Perang Dingin. Secara spesifik, Francis Fukuyama berargumen bahwa dunia telah mencapai "akhir sejarah" Hegelian, dalam bukunya yang berjudul "The End of History and the Last Man".
Huntington percaya bahwa saat dimana masa ideologi telah berakhir, dunia kembali ke keadaan normal yang ditandai dengan konflik budaya. Dalam tesisnya, Huntington mengemukakan bahwa poros utama konflik yang akan terjadi di masa depan adalah perihal kultur dan agama. Pascanasionalisme adalah sebuah proses atau tren dimana sebuah negara kebangsaan dan identitas nasional kehilangan kepentingannya terhadap entitas supranasional dan global. Beberapa faktor yang mendukung hal tersebut adalah globalisasi ekonomi, meningkatnya kepentingan perusahaan multinasional, internasionalisasi pasar keuangan, transfer kekuatan sosial-politik dari otoritas nasional ke entitas supranasional, seperti perusahaan multinasional, Perserikatan Bangsa - Bangsa dan Uni Eropa serta munculnya teknologi informasi baru seperti Internet. Meskipun begitu, keterkaitan terhadap kewarganegaraan dan identitas nasional menjadi hal yang penting.[31][32][33]
Jan Zielonka dari University of Oxford menyatakan bahwa "Struktur masa depan dan latihan dari kekuatan politik akan menyerupai model abad pertengahan dibandingkan dengan model Westphalian", yang pada akhirnya menjadi "pemusatan kekuasaan, kedaulatan dan identitas yang jelas" dan neo-medievalisme yang berarti "otoritas yang tumpang tindih, kedaulatan yang terbagi, berbagai identitas dan lembaga pemerintahan dan batas yang tidak jelas".[28]
Faktor-faktor pembentukan suatu bangsa sangat berkaitan dengan identitas yang menyatukan masyarakat.[11] Faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
|title=
(bantuan)